Pasukan tentaranya menaklukkan daratan di sepanjang pantai Pasifik, turun hingga kawasan yang saat ini dikenal sebagai Guatemala—dengan demikian "meluaskan kawasan kerajaan sampai batas-batas yang belum pernah dicapai sebelumnya," begitu menurut Carrasco. Beberapa pertempuran ini semata-mata merupakan pameran kekuasaan atau untuk menghukum penguasa daerah yang membangkang. Pada umumnya untuk memenuhi dua nafsu dasar: upeti untuk Tenochtitlan dan persembahan untuk para dewa.
Aturan pertama dominasi Aztec ditegakkan pada saat Ahuitzotl meraih kekuasaan: Rampas komoditas terbaik daerah yang ditaklukkan. "Para saudagar dan pedagang berperan sebagai mata-mata," begitu dijelaskan oleh Eduardo Matos Moctezuma, ahli arkeologi yang mengawasi penggalian besar-besaran di Templo Mayor yang dimulai pada tahun 1978. Setelah mereka melaporkan kekayaan yang dimiliki suatu kota, pasukan kerajaan menyiapkan serangan. "Ekspansi militer identik dengan ekspansi ekonomi," ujar Matos Moctezuma. "Bangsa Aztec tidak memaksakan agama. Mereka hanya mengincar harta."
Bahkan emas pun tidak memiliki nilai tinggi di masyarakat Mesoamerika jika dibandingkan dengan zamrud, yang melambangkan kesuburan—dan yang di Amerika tengah hanya dapat ditemukan di tambang Guatemala. Maka, tidaklah mengherankan bahwa Ahuitzotl menetapkan rute perdagangan di kawasan itu—merampas bukan saja batu permata hijau yang bentuknya berubah-ubah itu, tetapi juga, menurut Lopez Lujan, "bulu burung warna-warni, emas, kulit jaguar, dan kakao, yang ibarat uang yang tumbuh di pohon." Dengan kekayaan berlimpah ini, Tenochtitlan menjadi penguasa dunia perdagangan, sekaligus penguasa kebudayaan—"pusat kesenian terkaya saat itu seperti Paris dan New York di kemudian hari," ujar Lopez Lujan.
Perhiasan gemerlap Aztec menjadi bagian dari upacara spiritualitas Tenochtitlan yang sarat hiasan. Templo Mayor bukan semata-mata piramida berisi makam sebagaimana piramida yang didirikan bangsa Mesir purba, namun merupakan lambang gunung keramat Coatepec. Gunung itu adalah arena bagi para tokoh mitologi: dewa matahari yang baru bergabung, Huitzilopochtli, membunuh adik perempuannya yang seorang pejuang, dewi bulan Coyolxauhqui, dan melemparkan mayatnya ke kaki gunung. Dengan seringnya mempersembahkan prajurit pejuang, menurut keyakinan bangsa Mexica, para dewa akan kenyang dan daur kehidupan terus berlanjut. Tanpa persembahan semacam ini, para dewa akan lenyap dan dunia akan kiamat. "Gunung keramat itu sama pentingnya dengan salib dalam ajaran Kristen," ujar Carrasco. Bagi bangsa Mexica, sebagaimana bagi sebagian besar masyarakat Mesoamerika, "selalu terjadi kehancuran dan penciptaan kembali secara berulang."
Menghormati gunung keramat itu berarti menggiring para tahanan yang berpakaian warna-warni menaiki tangga piramida, memaksa mereka menampilkan tarian upacara, kemudian mencabut jantung mereka dan menggelindingkan mayat mereka menuruni tangga. Mengumpulkan tawanan yang diperlukan untuk dipersembahkan adalah kegiatan pengerahan yang berkelanjutan. Pertempuran ritual dipentaskan pada hari-hari tertentu, di kawasan yang netral, dengan tujuan tunggal menangkap tawanan, bukan meluaskan daerah kekuasaan. Sebagaimana yang menjadi perhatian ilmuwan Ross Hassig, setiap perang "secara resmi dimulai dengan membakar tumpukan kertas dan dupa di antara kedua pasukan." Bangsa Mexica tidak berbicara tentang "perang suci," sebab bagi mereka tidak ada perang jenis lain. Pertempuran dan agama tidak dapat dipisahkan.
Melebihi para penguasa sebelumnya, Ahuitzotl memperluas daerah kerajaannya ke selatan, menguasai perdagangan dari masyarakat Tarascan yang kuat hingga ke barat, dan memperketat kontrol di semua wilayah jajahannya. "Dia lebih berkuasa, lebih kejam," ujar ahli arkeologi Raúl Arana. "Apabila ada yang tidak bersedia mengirim upeti, dia mengirimkan pasukannya. Di bawah pemerintahan Ahuitzotl, bangsa Aztec melakukan segala hal secara besar-besaran. Dan mungkin secara berlebihan. Padahal, semua kerajaan ada batasnya."
Bangsa Mexica kehilangan pembangun kerajaan yang hebat itu di puncak dominasi mereka. Pada 1502, Ahuitzotl lenyap, diperkirakan tewas akibat hantaman ke kepalanya tatkala menyelamatkan diri meninggalkan istana yang dilanda banjir.
Banjir itu disebabkan oleh proyek pembangunan bendungan yang dilakukan secara terburu-buru yang diprakarsai oleh Ahuizotl. Bangunan itu untuk membendung aliran mata air dari kota di negara tetangga Coyoacan. Penguasa kota tersebut sudah memperingatkan Ahuitzotl tentang aliran mata air yang sangat tidak menentu itu.
Sang raja menanggapi peringatan itu dengan menghukum mati si penguasa kota. Pada upacara pemakamannya, 200 orang budak dipilih untuk menyertai Ahuitzotl ke alam baka. Mereka didandani mengenakan pakaian bagus-bagus, membawa aneka barang untuk keperluan perjalanan ini, digiring ke Templo Mayor, dan di situ jantung mereka direnggut, lalu tubuh mereka dilontarkan ke api pembakaran jenazah. Sisa-sisa pembakaran tubuh mereka, dan tubuh tuan mereka, konon dikuburkan di depan Templo Mayor.
Di lokasi itulah ditemukan monolit Tlaltecuhtli dan Aristo-Canine. Tim Lopez Lujan berhasil menggali benda persembahan lain di daerah sekitarnya. Salah satu di antaranya ditemukan di bawah bangunan megah bergaya Tuscany yang dibangun untuk salah seorang tentara Cortes. Satu lagi ditemukan beberapa meter di bawah balok batu besar. Dalam kedua kasus tersebut, Lopez Lujan tahu di tempat mana dia harus mencari setelah menelusuri sumbu timur-barat yang sangat rumit, atau "garis khayal" pada peta situs penggalian. "Selalu ada simetri berulang seperti ini," ujar Lopez Lujan. "Hal ini seperti ketentuan yang wajib mereka patuhi."
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR