Kegiatan tim arkeologi itu berlangsung lamban dan sama sekali tidak menarik. Beberapa di antaranya karena tantangan yang dihadapi dalam setiap penggalian di kota: mengurus surat izin dan menggali mengikuti lika-liku selokan pembuangan dan jalur kereta bawah tanah; menghindari kabel telepon, serat optik, dan kabel listrik yang ditanam di bawah tanah; serta menjaga keamanan di situs arkeologi yang terletak di salah satu kawasan pejalan kaki yang paling memikat hati di dunia.
Namun, yang tidak kalah merepotkan adalah bahwa kru Lopez Lujan harus bekerja keras karena peninggalan Aztec ini sangat tinggi unsur presisi geografinya. Sambil berdiri di atas sebuah lubang yang pada Mei 2007 dari dalamnya digali sebuah kotak persembahan yang tidak lebih besar daripada laci sepatu, dia berkata, "Diperlukan waktu 15 bulan untuk menuntaskan seluruh proyek penggalian barang persembahan itu. Di dalam ruang yang sempit itu terdapat 10 lapisan dan tersimpan lebih dari 5.000 benda. Jumlahnya yang begitu banyak dan nilainya yang begitu luar biasa sungguh menakjubkan.
"Memang sepertinya acak, padahal tidak," kata Lopez Lujan lagi. "Segalanya diperhitungkan dengan cermat dari segi kosmologi. Tantangan bagi kami adalah menemukan nalarnya dan pola sebarannya dari segi ruang. Ketika Leopoldo Batres melakukan penggalian di sini [pada peralihan abad sebelumnya], dia hanya tertarik pada bendanya saja. Baginya, hasil penggalian itu merupakan lambang kemenangan. Yang kami dapati setelah bekerja di sini selama 32 tahun adalah bahwa bendanya sendiri tidak terlalu penting; yang lebih penting adalah hubungan antara benda-benda tersebut dari segi geometri."
Setiap temuan merupakan anugerah besar bagi Meksiko karena begitu banyak artefak berharga sudah dirampas oleh para penakluk dan diboyong ke Spanyol, dan dari situ disebarkan ke seluruh Eropa. Melebihi nilai keindahannya, temuan baru ini menonjolkan ketelitian bangsa Aztec—ketekunan yang dipertaruhkan karena ancaman sanksi yang sangat berat.
Bagi bangsa Aztec, menyenangkan para dewa bergantung pada kerajaan yang selalu tumbuh dan selalu menuntut, yang pada akhirnya tidak bisa dipertahankan. Sebagaimana yang dikatakan Carrasco, "Ironinya adalah bahwa jika kerajaan terus meluaskan wilayahnya sampai tidak terbatas, maka kerajaan itulah yang kemudian menjadi batasnya. Jika daerah kekuasaan kerajaan berada jauh dari pusat, kerajaan tidak dapat menyediakan makanan dan transportasi bagi pasukan militernya dan tidak dapat melindungi para saudagarnya. Biaya pemeliharaan kerajaan menjadi sangat mahal. Dan bangsa Aztec tidak sanggup mengelolanya."
Sepuluh tahun sebelum kedatangan bangsa Spanyol, penerus Ahuitzotl, Moctezuma II, tampaknya tergiur oleh visi dan isyarat. Meskipun melanjutkan cara yang dianut pendahulunya untuk meluaskan wilayah jajahan, meskipun memiliki kekuasaan besar serta emas dan mahkota dari zamrud, ditambah lagi memiliki 19 orang anak dan kebun binatang yang dihuni aneka satwa eksotik serta "manusia kerdil, albino, dan manusia bungkuk".
Pada 1509, menurut salah satu buku catatan, "pertanda buruk muncul di angkasa. Wujudnya seperti pelepah jagung yang menyala… tampak seperti mengalirkan api, setetes demi setetes, seperti luka di langit."
Baca Juga: Temuan Kuil Kuno dan Tulang Leher Putus, Bukti Persembahan Dewa Aztec
Baca Juga: Jadi Budak di Peradaban Aztec, Dipilih Karena Melakukan Kejahatan
Baca Juga: Mengenal Mictlan, Dunia Bawah Tanah Orang Mati Kepercayaan Suku Aztec
Baca Juga: Huey Tzompantli, Menara Tengkorak Manusia Peninggalan Suku Aztec
Baca Juga: Syarat Jadi Pemimpin Aztec, Wajib Ikuti Perang Pertumpahan Darah
Kekhawatiran Moctezuma masuk akal. "Terdapat lebih dari 5.000 pejuang pribumi yang memberontak, yang ingin mempertahankan harta mereka dan menghendaki dihentikannya serangan bangsa Aztec terhadap masyarakatnya," kata Carrasco. Tanpa keinginan untuk melawan penguasa Aztec yang berkuasa, ke-500 orang Spanyol yang bersandar di dermaga Veracruz pada musim semi 1519, meskipun dipersenjatai dengan senjata api dan meriam dan kuda, bukan tandingan pasukan Aztec.
Alih-alih, kontingen Cortes tiba di Tenochtitlan pada tanggal 8 November, dikawal oleh ribuan warga Tlaxcalan dan tentara sekutunya. Meskipun bangsa Spanyol terpesona oleh pemandangan kota yang gemerlap di atas danau—mereka tidak gentar oleh keperkasaan tuan rumah. Justru sebaliknya, Moctezuma-lah yang tampaknya merasa tidak percaya diri.
Menurut legenda Mesoamerika, dewa agung berjanggut Quetzalcoatl—yang dibuang setelah berhubungan seks dengan adiknya—suatu hari kelak akan kembali melalui jalan air untuk memulihkan kekuasaannya. Hal ini selalu diingat oleh Moctezuma, yang memberi Cortes "harta Quetzalcoatl," busana dari ujung kepala sampai ujung kaki yang di bagian atasnya dihiasi oleh "topeng seekor ular bertatahkan batu hijau-biru."
Namun, apakah Moctezuma benar-benar menafsirkan bangsa Spanyol sebagai penjelmaan kedua dewa ular-berbulu, sebagaimana yang sudah lama diyakininya? Atau apakah secara kejam dia mendandani Cortes dengan busana khas dewa, dan akan segera dijadikan kurban persembahan? Isyarat itu merupakan ketaksaan terakhir bangsa Aztec. Setelah itu, fakta tidak terbantahkan lagi. Jalanan Tenochtitlan memerah bersimbah darah, dan pada tahun 1521 kerajaan itu pun runtuh.
"Kami termakan oleh bujukan yang mengatakan bahwa cepat atau lambat kami pasti bisa menemukan makam Ahuitzotl," kata Lopez Lujan. "Makin lama, kami menggali makin dalam." Namun, seberapa dalamnya pun ahli arkeologi ini menggali, dia tidak akan pernah bisa menyingkapkan inti misteri Aztec. Hal ini akan terus menguasai jiwa bangsa Meksiko modern—misteri yang ada untuk dirasakan dan bukan dilihat, yang di masa lalu bersifat primitif dan megah, yang mengimbau manusia fana untuk meraih kekuatan yang mampu mengubah kawasan rawa tak berguna menjadi kerajaan.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR