"Subjek 1 mengatakan akan semakin mendapatkan nama yang bagus di lingkungan teman geng atau tongkrongan, ketika subjek berhasil melukai orang lain di jalan. Awal mula subjek 1 mengikuti geng karena ikut-ikutan teman, subjek berasalan bahwa merasa tidak enak hati karena sudah merepotkan teman. Jadi, subjek mengikuti apa yang diikuti oleh teman subjek," tulis para peneliti dalam studi.
Lingkungan tempat tinggal subjek 1 bebas yaitu tidak ada peraturan bahwa warganya tidak boleh begini atau begitu. Saat di lingkungan sekolah subjek juga cenderung dibiarkan (tidak dipedulikan). Selain kegiatan sekolah, kegiatan rutinitas subjek 1 adalah keluar malam dan nongkrong bersama teman subjek.
Intensitas subjek 2 keluar malam (nongkrong) juga hampir dilakukan setiap hari. Kegiatan yang dilakukan ketika nongkrong minum kopi dan main gim. Subjek 2 juga langsung mengiyakan ajakan teman subjek untuk mengejar calon korban klitih subjek tapa bertanya tujuan terlebih dahulu.
"Sedangkan Subjek 3 mendapatkan penolakan dari lingkungan tempat tinggal subjek setelah kasus pertama yang dilakukan oleh subjek. Subjek 3 setiap malam keluar dan nongkrong di burjo (warung bubur kacang ijo) yang ada wifi. Sebelum kasus pertama subjek nongkrong hanya sampai jam 1 malam, kemudian setelah keluar dari polres dan subjek mendapat penolakan dari lingkungan, maka tempat yang bisa menerima subjek hanya tempat subjek nongkrong."
Baca Juga: Belanda-Belanda di Balik Terbelahnya Surakarta dan Yogyakarta
Baca Juga: Kemunculan Kembali Candi Prambanan oleh Raffles Pasca Mataram Kuno
Baca Juga: Pameran Jayapatra, Lembar Kemenangan dari Yogyakarta untuk Indonesia
Baca Juga: Riwayat Sewa Tanah Keraton Yogyakarta Penyulut Perang Dipanagara
Subjek 3 memiliki kecenderungan perilaku agrasif yang tinggi. Hal ini ditambah dengan emosional subjek yang juga sering susah untuk dikontrol. Subjek melakukan kekerasan karena sebagai sarana pelampiasan masalah dengan orang tua dan balas dendam karena sudah diganggu oleh orang lain.
Hawari (1997) menyebutkan bahwa ketiadaan suri tauladan dari orangtua menjad penyebab perilaku bermasalah pada remaja. Petterson (dalam Kerig dkk, 2012) menyebutkan kurangnya keterlibatan orang tua memiliki kontribusi masalah perilaku pada anak. Lebih lanjut, penelitian Trismayani (2014) menemukan peran ayah memiliki kontribusi pada perilaku kenakalan remaja. Interaksi dengan kelompok sebaya merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas remaja. Kelompok geng klitih merupakan sekumpulan remaja yang memiliki kesamaan.
"Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa yang mendasari perilaku klitih adalah hubungan keluarga dan orang tua yang memiliki riwayat masalah, dinamika interaksi remaja dengan kelompok, serta karakter individu. Konformitas remaja di dalam kelompoknya menjadi determinasi perilaku kelompok. Remaja mengembangkan identitas diri mereka dengan kelompok sebaya mereka. Studi menunjukan konfromitas remaja berkontribusi signifikan pada perilaku agresi," simpul para peneliti dalam laporan studi tersebut.
Source | : | KOMPAS.com,Jurnal Spirits,Journal of Counseling and Personal Development |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR