Nationalgeographic.co.id—Aksi klitih di Yogyakarta kembali terjadi dan menelan korban jiwa. Pada awal April 2002, seorang remaja asal Kebumen bernama Dafa Adzin Albasith tewas diduga karena sabetan gir anggota klitih.
Peristiwa nahas tersebut terjadi pada dini hari, saat Dafa dan teman-temannya hendak mencari makan sahur. Dalam perjalanan rombongan Dafa bertemu dengan geng klitih.
Klitih sendiri merupakan salah satu fenomena kejahatan jalanan yang biasanya terjadi saat malam hari di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Spesifiknya, kejahatan yang dilakukan adalah berupa mencederai atau melukai orang lain di jalanan. Umumnya, pelaku klitih adalah pelajar remaja.
Sebetulnya, pada awalnya, makna dari kata klitih bukanlah untuk aksi negatif atau kejahatan jalanan. Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito menuturkan makna asli istilah klitih adalah kegiatan keluar rumah di malam hari untuk menghilangkan kepenatan.
"Klitih dulu sebetulnya hanya aktivitas orang keluar malam mencari kegiatan untuk mengatasi kepenatan," terangnya seperti dikutip dari Kompas.com.
Senada, sosiolog UGM Sunyoto Usman juga menyatakan bahwa makna klitih adalah mengisi waktu luang. Tak ada konotasi negatif pada makna asli klitih. "Dulu klitih hanya bermakna mengisi waktu luang, seperti tanda kutip tidak ada pekerjaan kemudian nglitih," jelasnya.
Terlepas dari pergeseran maknanya yang menjadi negatif, apa sebenarnya yang menyebabkan banyak remaja di Yogyakarta justru mengisi waktu luang malamnya dengan aksi kejahatan di jalan?
Sebuah studi yang terbit di jurnal Spirits pada 2019 pernah membahas faktor-faktor pendorong aksi klitih. Studi yang ditulis oleh para peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa membahas ini dengan membahas perilaku klitih dari sudut pandang para pelakunya.
Ada tiga subjek remaja pelaku klitih yang diteliti dalam studi ini. Subjek 1 memiliki masalah dengan kedua orang tua, yaitu sejak kecil subjek ditinggal pergi oleh ayahnya. Semenjak kepergian ayahnya, subjek 1 hanya tinggal bertiga dengan ibu dan adiknya. Subjek 1 tidak memiliki kelekatan dengan ayahnya. Selain itu, subjek 1 memiliki kelekatan yang lebih tinggi dengan pacar dibandingkan dengan ibunya.
Seperti subjek 1, subjek 2 juga lebih terbuka dengan orang lain (teman) dibandingkan dengan orang tua. Di samping itu, subjek 2 juga merasa bosan ketika harus di rumah seharian. Subjek 2 lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah bersama teman-temannya dibandingkan di rumah bersama orang tuanya.
Adapun orang tua subjek 3 sudah pisah ketika subjek 3 masih kecil. Setelah orang tua subjek 3 berpisah, subjek tinggal bersama neneknya sampai sekarang. Ayah subjek 3 tidak peduli dengannya meskipun masih tinggal di kota yang sama. Ayah subjek tidak pernah menjenguknya langsung ke rumah nenek, sedangkan ibu subjek kerja di luar negeri dan pulang 1 kali dalam setahun. Subjek 3 merasa tidak nyaman tinggal bersama ayah subjek, karena memang sudah lama tidak pernah tinggal bersama. Ditambah lagi ayah subjek sudah menikah lagi.
Permasalahan keluarga atau ketidakdekatan remaja dengan orang tua memicu para remaja tersebut untuk mengisi waktu luang lebih banyak di luar rumah, dalam hal ini adalah dengan kelompok pertemanan mereka, baik yang ditemui di sekolah maupun di luar sekolah. Dari kelompok atau geng teman sebaya inilah mereka terpengaruh untuk melakukan aksi klitih.
"Subjek 1 mengatakan akan semakin mendapatkan nama yang bagus di lingkungan teman geng atau tongkrongan, ketika subjek berhasil melukai orang lain di jalan. Awal mula subjek 1 mengikuti geng karena ikut-ikutan teman, subjek berasalan bahwa merasa tidak enak hati karena sudah merepotkan teman. Jadi, subjek mengikuti apa yang diikuti oleh teman subjek," tulis para peneliti dalam studi.
Lingkungan tempat tinggal subjek 1 bebas yaitu tidak ada peraturan bahwa warganya tidak boleh begini atau begitu. Saat di lingkungan sekolah subjek juga cenderung dibiarkan (tidak dipedulikan). Selain kegiatan sekolah, kegiatan rutinitas subjek 1 adalah keluar malam dan nongkrong bersama teman subjek.
Intensitas subjek 2 keluar malam (nongkrong) juga hampir dilakukan setiap hari. Kegiatan yang dilakukan ketika nongkrong minum kopi dan main gim. Subjek 2 juga langsung mengiyakan ajakan teman subjek untuk mengejar calon korban klitih subjek tapa bertanya tujuan terlebih dahulu.
"Sedangkan Subjek 3 mendapatkan penolakan dari lingkungan tempat tinggal subjek setelah kasus pertama yang dilakukan oleh subjek. Subjek 3 setiap malam keluar dan nongkrong di burjo (warung bubur kacang ijo) yang ada wifi. Sebelum kasus pertama subjek nongkrong hanya sampai jam 1 malam, kemudian setelah keluar dari polres dan subjek mendapat penolakan dari lingkungan, maka tempat yang bisa menerima subjek hanya tempat subjek nongkrong."
Baca Juga: Belanda-Belanda di Balik Terbelahnya Surakarta dan Yogyakarta
Baca Juga: Kemunculan Kembali Candi Prambanan oleh Raffles Pasca Mataram Kuno
Baca Juga: Pameran Jayapatra, Lembar Kemenangan dari Yogyakarta untuk Indonesia
Baca Juga: Riwayat Sewa Tanah Keraton Yogyakarta Penyulut Perang Dipanagara
Subjek 3 memiliki kecenderungan perilaku agrasif yang tinggi. Hal ini ditambah dengan emosional subjek yang juga sering susah untuk dikontrol. Subjek melakukan kekerasan karena sebagai sarana pelampiasan masalah dengan orang tua dan balas dendam karena sudah diganggu oleh orang lain.
Hawari (1997) menyebutkan bahwa ketiadaan suri tauladan dari orangtua menjad penyebab perilaku bermasalah pada remaja. Petterson (dalam Kerig dkk, 2012) menyebutkan kurangnya keterlibatan orang tua memiliki kontribusi masalah perilaku pada anak. Lebih lanjut, penelitian Trismayani (2014) menemukan peran ayah memiliki kontribusi pada perilaku kenakalan remaja. Interaksi dengan kelompok sebaya merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas remaja. Kelompok geng klitih merupakan sekumpulan remaja yang memiliki kesamaan.
"Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa yang mendasari perilaku klitih adalah hubungan keluarga dan orang tua yang memiliki riwayat masalah, dinamika interaksi remaja dengan kelompok, serta karakter individu. Konformitas remaja di dalam kelompoknya menjadi determinasi perilaku kelompok. Remaja mengembangkan identitas diri mereka dengan kelompok sebaya mereka. Studi menunjukan konfromitas remaja berkontribusi signifikan pada perilaku agresi," simpul para peneliti dalam laporan studi tersebut.
Para peneliti menyarankan perlunya penyuluhan di sekolah-sekolah menengah pertama dan atas tentang bahaya perilaku klitih dan kenakalan remaja yang lain. Mereka juga menyarankan perlunya dibuat sebuah rumah pendampingan. Rumah pendampingan ini berfungsi sebagai tempat berbagi untuk semua remaja yang membutuhkan tempat bercerita.
Lebih lanjut mereka juga menyarankan perlunya dibuat aturan jam malam warung-warung makan burjo untuk remaja. "Hal ini dikarenakan, warung makan burjo menjadi sarana berkumpul dan juga nongkrong untuk remaja di Yogyakarta."
Keberadaan warung burjo di Yogyakarta terkait klitih ini juga disorot dalam studi lain yang terbit di Journal of Counseling and Personal Development pada 2019. Studi yang dibuat oleh peneliti dari Program Doktor Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma itu mengarisbawahi pentingnya koordinasi antara pihak sekolah dengan warung-warung di sekitarnya, terutama warung burjo.
"Memerikasa tas atau sepeda motor anak-anak menjadi penting bagi para orang tua. Tetapi banyak orang tua tidak punya cukup waktu untuk melakukan hal itu," tulis peneliti dalam studi tersebut.
"Dalam kasus 'Klithih’ di Yogyakarta, diketahui bahwa sebagaian pelaku menyimpan senjata tajam di warung warung dekat sekolah di mana mereka biasa mangkal. Dari kondisi itu bisa ditarik kesimpulan arti pentingnya sekolah sekolah membina hubungan baik dengan para pemilik warung (biasanya warung burjo) di sekitar sekolah," saran sang peneliti.
Source | : | KOMPAS.com,Jurnal Spirits,Journal of Counseling and Personal Development |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR