Nationalgeographic.co.id—Pada awal abad ke-1 SM, Republik Romawi mengalami krisis keuangan selama bertahun-tahun.
Kevin Butcher dari Universitas Warwick dan arkeolog Matthew Ponting dari Universitas Liverpool mengadakan penelitian yang membantu menjelaskan sifat dan kedalaman krisis itu. Salah satu tandanya adalah tingginya tingkat inflasi Romawi yang berlangsung selama berabad-abad.
Inflasi Republik Romawi mengubah komposisi uang
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana komposisi uang Romawi mungkin telah diubah 2.100 tahun yang lalu, kedua profesor tersebut merekrut Dr. Adrian Hillier dari Laboratorium STFC Rutherford Appleton untuk melakukan analisis metalurgi terhadap koin Romawi kuno yang berasal dari periode Republik Romawi.
“Hasilnya mengejutkan semua orang yang terlibat dalam proyek,” ungkap Butcher. Mereka menemukan bahwa koin yang telah dibuat dari perak murni sebelum 90 SM mengandung hingga 10 persen paduan tembaga.
"Penemuan penurunan nilai dinar yang signifikan ini memberikan petunjuk baru pada petunjuk Cicero tentang krisis mata uang pada 86 SM," Butcher menjelaskan.
Para sejarawan memperdebatkan apa yang yang dimaksud negarawan dan cendekiawan ketika dia menulis 'mata uang itu dilempar-lempar, sehingga tidak ada yang tahu apa yang dia miliki.' (De Officiis, 3:80).
Melalui penelitian terhadap koin kuno, mereka sekarang mengetahui maksud di balik kalimat Cicero itu.
Tampaknya, koin yang terbuat dari 10 persen tembaga bernilai sekitar 10 persen lebih rendah daripada koin perak. Ini berarti tingkat inflasi Romawi sebesar 10 persen.
Devaluasi mata uang dan inflasi harga akan bersifat universal. Jika semuanya menjadi 10 persen lebih mahal antara 90 dan 86 SM, semua orang akan mengalami kehilangan daya beli. Pada akhirnya dapat mengganggu dan menimbulkan kecemasan bahwa keadaan akan terus memburuk.
"Orang Romawi telah terbiasa dengan mata uang perak yang sangat halus. Jadi mereka mungkin kehilangan kepercayaan pada dinar ketika uang itu tidak lagi murni," kata Ponting. Bagi mereka, koin itu dipalsukan dan tidak lagi terbuat dari 'perak' murni.
Seperti di zaman modern, orang akan menyalahkan pemimpin politik ketika uang tiba-tiba kehilangan nilainya. Pihak berwenang yang mengawasi keuangan Republik Romawi termotivasi untuk menyelesaikan masalah inflasi ini secepat mungkin. “Mereka tahu bahwa konsekuensinya bisa mengerikan jika gagal melakukannya,” ungkap Butcher.
Krisis yang dibawa oleh perang
Dalam karya Cicero, ia mengulas tindakan Marius Gratidianus. Ia adalah seorang politisi dan administrator mereformasi mata uang di tahun 80-an SM. Tindakannya ini mengakhiri krisis keuangan.
Meski berhubungan dekat dengan Gratidianus, Cicero tetap mengkritik politisi tersebut karena mencari ketenaran. Menurutnya, Gratidianus tidak mau mengakui bahwa para pemimpin Romawi telah bekerja sama untuk menyelamatkan sistem keuangan yang terancam.
Seperti banyak bencana keuangan lainnya di abad-abad setelahnya, krisis keuangan Republik Romawi disebabkan oleh biaya perang yang tinggi. Para pemimpin politik telah lama mengandalkan pinjaman untuk mendanai petualangan asing. Akhirnya banyak yang berjuang untuk membayar kembali pinjaman mereka setelah konflik berakhir.
"Pada tahun-tahun setelah 91 SM negara Romawi berada dalam ancaman kebangkrutan," Butcher menjelaskan. Roma berperang dengan sekutu mereka sendiri di Italia, dan pada akhir perang, pada 89 SM, ada krisis utang. Pada tahun 86 SM tampaknya juga terjadi krisis kepercayaan pada mata uang.
Penambahan uang dengan mencampur logam pembuat koin
Krisis yang terakhir disebabkan oleh yang pertama. Para pemimpin di Republik tampaknya berusaha untuk meningkatkan pasokan mata uang. Ini dilakukan dengan mencampurkannya dengan logam lain, sehingga koin dapat dibuat dalam jumlah yang lebih besar.
Langkah ini memungkinkan mereka untuk melunasi hutang perang lebih cepat, karena jumlah uang yang beredar meningkat.
Sayangnya, ini akan memicu inflasi atau kerugian nilai mata uang, yang menghantam penduduk Romawi. Proyek penelitian baru menganalisis berbagai koin Romawi yang diproduksi selama periode ini. Peneliti mendeteksi penurunan progresif dalam kemurniannya selama periode empat tahun dari 91 hingga 87 SM.
"Dari koin perak murni, dinar pertama kali turun menjadi di bawah 95 persen. Lalu kemudian turun lagi menjadi 90 persen, dengan beberapa koin serendah 86 persen. Ini menunjukkan krisis mata uang yang parah," Ponting mengungkapkan.
Seperti yang dikatakan Cicero, politisi dan administrator Romawi berkolaborasi untuk menemukan solusi atas krisis tersebut. Mereka menyadari penurunan nilai mata uang logam mulai menyebabkan lebih banyak masalah alih-alih menjadi jalan keluar. Benar atau salah, Gratidianus menghargai solusi yang akhirnya dipilih—apa pun itu.
Baca Juga: Makam Megah dan Nisan: Upaya Orang Mati di Romawi untuk 'Tetap Hidup'
Baca Juga: Ketika Homoseksualitas di Romawi Kuno Jadi Sebuah Status Sosial
Baca Juga: Jatuhnya Takhta Romawi Barat, Tanda Dimulainya Abad Pertengahan
"Satu teori adalah bahwa Gratidianus menetapkan nilai tukar antara dinar perak dan perunggu (paduan tembaga yang ditambahkan ke koin)," kata Butcher. Ada juga yang berpendapat bahwa ia menerbitkan metode untuk mendeteksi dinar palsu. Sehingga ini memulihkan kepercayaan pada koin itu.
Teori-teori ini sudah ada sejak lama. Tetapi Butcher telah mengajukan penjelasan baru berdasarkan penemuannya dan Ponting. Menurut mereka, setelah 86 SM, orang Romawi berhenti mencampurkan paduan tembaga ke dalam koin perak mereka.
"Yang lebih penting adalah bahwa sekitar waktu Gratidianus menerbitkan dekritnya. Isinya tentang standar kehalusan meningkat tajam, membalikkan penurunan dan mengembalikan dinar ke mata uang berkualitas tinggi," katanya.
Kekaisaran dan Republik datang dan pergi, namun tidak dengan inflasi
Studi baru ini mengungkapkan berapa lama masyarakat telah dipaksa untuk menghadapi inflasi atau devaluasi jumlah uang beredar. Inflasi adalah masalah bagi Republik Romawi pada tahun 90 SM. Dan lebih dari 2.100 tahun kemudian, ini juga masih menjadi masalah besar bagi dunia modern.
Kekhawatiran atas utang perang menyebabkan keputusan Republik Romawi untuk melakukan devaluasi mata uangnya pada awal abad ke-1 SM. Butcher menambahkan, “Meski ini menyebabkan inflasi namun merupakan solusi yang tampaknya praktis dan perlu pada saat itu.”
Kebenaran terakhir adalah bahwa siklus inflasi adalah hasil yang tak terhindarkan dari memiliki semua jenis sistem moneter. Terlepas dari waktu atau tempat dalam sejarah.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR