Nationalgeographic.co.id—Hiu paus adalah ikan besar yang tinggal di perairan tropis di seluruh dunia. Pada 2021, Freya Womersley, peneliti University of Southampton yang memimpin Global Shark Movement Project, mendapati bahwa ikan itu dapat pulih dari cedera akibat benturan dengan perahu dalam hitungan minggu.
Meski demikian, penelitian terbarunya bersama para peneliti dari seluruh dunia—termasuk Indonesia—melaporkan bahwa sering terjadi tabrakan antara hiu paus dan kapal besar. Kejadian yang seharusnya mendapat perhatian, namun kerap diremehkan.
Di sekitar khatulistiwa dunia ada banyak kapal kargo untuk perdagangan internasional dan kapal-kapal besar berpenumpang antarpulau atau antarbenua. Hal itu membuat sering terjadinya tabrakan dengan hiu paus.
Status hiu paus saat ini menurut International Union for Conservation of Nature IUCN, termasuk golongan yang populasinya rentan. Tabrakan dengan kapal besar inilah yang menjadi alasan mengapa jumlahnya menurun.
Pengamatan ini melibatkan 50 lembaga penelitian dan universitas internasional untuk melacak pergerakan hiu paus dan kapal di seluruh dunia. Mereka mengidentifikasi area yang berisiko dan kemungkinan tabrakan.
Berdasarkan pergerakan yang terlacak satelit, ada 350 hiu paus berlabel. Satwa-satwa itu dimonitor oleh Global Shark Movement Project yang datanya disandingkan dengan pergerakan kapal. Kebanyakan hiu paus tinggal di daerah yang dekat dengan pesisir—tentunya ada banyak perahu dan kapal besar lalu-lalang di kawasan itu.
"Industri perkapalan maritim yang memungkinkan kami memperoleh berbagai produk sehari-hari dari seluruh dunia, mungkin menyebabkan penurunan hiu paus, yang merupakan spesies yang sangat penting di lautan kita," kata Womersley di laman University of Southampton.
Dia dan timnya memetakan titik yang tumpang tindih antara hiu paus dengan armada kargo, tangker, penumpang, dan kapal penangkapan ikan global. Jenis kapal besar ini diketahui sangat mungkin menyerang dan membunuh hiu paus.
Hasilnya, ada 90 persen pergerakan hiu paus yang berada di bawah rute aktivitas pengiriman. Laporan itu mereka muat dalam makalah yang dipublikasikan di PNAS pada 9 Mei 2022 berjudul Global collision-risk hotspots of marine traffic and the world’s largest fish, the whale shark.
Pernyataan tentang kematian hiu paus disebabkan kapal diutarakan dari data penyebaran label hiu paus. Ternyata label-label itu dalam pantauan satelit, lebih sering berakhir di jalur pelayaran pengiriman yang sibuk daripada yang diperkirakan. Mereka menyimpulkan, hilangnya transmisi label kemungkinan karena hiu paus dipukul, dibunuh, terhantam, dan tenggelam ke dasar laut.
Baca Juga: Parasit Berbahaya Buat Manusia Bisa Menumpang Lewat Mikroplastik
Baca Juga: Video Jelajah Alam: Berenang Bersama Hiu Paus Raksasa di Gorontalo
Baca Juga: Ternyata Ini Penyebab Hiu Megalodon Memiliki Tubuh Super Raksasa
Baca Juga: Siti, Hiu Paus yang Mengawali Tugas Penting Hiu di Perairan Indonesia
"Luar biasa, beberapa label yang merekam kedalaman serta lokasi menunjukkan hiu paus bergerak ke jalur pelayaran dan kemudian tenggelam perlahan ke dasar laut ratusan meter bawahnya, yang merupakan 'senjata api' dari serangan kapal yang mematikan," kata David Sims, peneliti senior dari University of Southampton dan pendiri Global Shark Movement Project.
"Sangat menyedihkan untuk berpikir bahwa banyak kematian hewan luar biasa ini telah terjadi secara global karena kapal tanpa kita sadari untuk mengambil tindakan pencegahan." lanjut Sims.
Penurunan drastis hiu paus bisa memicu perubahan ekosistem di bawah laut. Raksasa laut yang bergerak lambat dengan panjang mencapai 20 meter itu memakan hewan zooplankton. Mengontrol tingkat plankton di laut oleh hiu paus, merupakan peran penting dalam jaring makan laut dan ekosistem yang sehat.
Sampai saat ini, belum ada peraturan internasional yang melindungi hiu paus dan tabrakan kapal. Tim peneliti beraharap adanya tindakan yang diambil untuk melindungi spesies rentan yang penuh ketidakpastian di laut.
Temuan ini diajukan sebagai informasi keputusan manajemen dan perlindungan hiu paus dari penurunan populasi yang makin parah di masa depan.
"Secara kolektif kita perlu meluangkan waktu dan energi untuk mengembangkan strategi untuk melindungi spesies yang terancam punah ini dari pengirim komersial sekarang sebelum terlambat," kata Womersley. "Sehingga ikan terbesar di Bumi ini dapat berhatan dari ancaman yang diprediksi akan meningkat di masa depan seperti perubahan iklim laut."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR