Hingga saat ini, tidak ada satupun teknologi radioteleskop yang memiliki resolusi cukup tinggi. Sehingga para astronom menggunakan interferometri, yaitu menggabungkan sepasang antena radio yang disesuaikan pada objek yang sama di langit untuk membuat interferometer atau teleskop “virtual”. Dengan ini detail halus dapat terlihat, seperti pada lensa zoom kamera.
Baca Juga: Akhirnya Astronom Berhasil Memotret Lubang Hitam di Pusat Bimasakti
Baca Juga: Cara Terbaru Mengukur Lubang Hitam: Cari Pasangan yang Melebur
Baca Juga: 'Lubang Cacing' Membantu Menjelaskan Paradoks Informasi Lubang Hitam?
Baca Juga: 'Detak Jantung' Lubang Hitam Menawarkan Wawasan Baru bagi Astronom
Bahkan, proyek EHT melangkah lebih jauh, menggunakan radioteleskop di delapan observatorium pada seluruh dunia, untuk menciptakan teleskop baru yang lebih kuat. Teknik ini disebut dengan very long baseline interferometry (VLBI).
Saat bumi berputar, masing-masing teleskop yang menangkap gelombang cahaya yang berbeda dari pancaran materi di sekitar lubang hitam. Hasil dari pola-pola yang tercipta, pada akhirnya digabungkan untuk membentuk gambaran yang lebih lengkap.
Sinyal yang diterima pada setiap antenna harus dicocokan gelombang demi gelombang, sekalipun piringannya berada pada belahan bumi lain. Dus, setiap lokasi dilengkapi dengan jam atom.
Suksesnya EHT dalam mendeteksi M87* dan Sagittarius A* memberikan bukti ganda mengenai lubang hitam supermasif. Sejauh ini, teori relativitas umum Einstein tidak mampu menjelaskan apa yang terjadi di lubang hitam pada skala paling kecil tak terhingga.
“Lubang hitam adalah lingkungan ‘paling ekstrim, kacau dan bergejolak’ yang pernah ada” terang ahli astrofisika Jerman, Heino Falcke, kepada Agence France-Presse.
Namun berkat adanya EHT, aspek teori fundamental ini sekarang dapat diuji.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR