Nationalgeographic.co.id—Pekan lalu, Event Horizon Telescope (EHT), berhasil mengungkap lubang hitam raksasa yang dijuluki Sagitarius A*. Keberadaan EHT sangat membantu manusia dalam mempelajari objek antariksa misterius tersebut.
Melalui jaringan piringan radio, EHT dirancang untuk mendeteksi pancaran cahaya saat materi menghilang ke mulut lubang hitam. Teknologi ini cukup kuat untuk melihat benda sebesar bola golf di bulan.
Lantas, apa itu EHT dan bagaimana cara teknologi tersebut bekerja?
Dilansir dari Phys.org, dalam artikel bertajuk Snapping a black hole: How the EHT super-telescope works. EHT merupakan jaringan antena lintas dunia yang satu sama lainya membentuk teleskop virtual, dengan ukuran selebar Bumi atau sekitar 10.000 kilometer. EHT diluncurkan pada tahun 2015 dengan melibatkan 80 lembaga astronomi yang berbeda.
Pada 2019, EHT menangkap gambar untuk pertama kalinya berupa lubang hitam bernama M87* di galaksi yang jauh dari galaksi milik kita. Secara teori, mengamati lubang hitam adalah sesuatu yang tidak mungkin, sebab tidak ada cahaya yang dapat lolos. Namun EHT telah menemukan solusinya.
Teknologi tersebut, menangkap kilatan cahaya ketika materi seperti planet, puing, dan apapun yang mendekatinya, terhisap ke dalam lubang hitam. Ini disebut peristiwa horizon.
“Kami dapat mendeteksi siluet lubang hitam dengan latar belakang gas dan debu yang bersinar,” ujar Frederic Geth dari Institut Radio-astronomi Milimetrik Prancis-Jerman, dalam Phys.org.
Ahli kosmologi Inggris, Stephen Hawking, pernah menggambarkan peristiwa horizon dengan perumpamaan melintasi Air Terjun Niagara menggunakan Kano, “jika Anda berada di atas air terjun, masih mungkin untuk melarikan diri bila Anda menggayung dengan cukup keras. Namun, begitu Anda melewati bibir air terjun, bagaimanapun tidak ada jalan pulang.”
Bagaimana EHT Melihat Segetarius A*
Awan materi yang berputar-putar di sekitar lubang hitam, dapat dilihat menggunakan gelombang milimetri. Gelombang ini hanya dapat dihasilkan menggunakan radioteleskop, bentuknya mirip dengan parabola TV, tetapi dirancang jauh lebih besar.
Bukan tanpa alasan, memang membutuhkan ukuran besar agar mampu mendeteksi sinyal radio lemah yang dipancarkan oleh objek dengan jarak sangat jauh dari Bumi.
Hingga saat ini, tidak ada satupun teknologi radioteleskop yang memiliki resolusi cukup tinggi. Sehingga para astronom menggunakan interferometri, yaitu menggabungkan sepasang antena radio yang disesuaikan pada objek yang sama di langit untuk membuat interferometer atau teleskop “virtual”. Dengan ini detail halus dapat terlihat, seperti pada lensa zoom kamera.
Baca Juga: Akhirnya Astronom Berhasil Memotret Lubang Hitam di Pusat Bimasakti
Baca Juga: Cara Terbaru Mengukur Lubang Hitam: Cari Pasangan yang Melebur
Baca Juga: 'Lubang Cacing' Membantu Menjelaskan Paradoks Informasi Lubang Hitam?
Baca Juga: 'Detak Jantung' Lubang Hitam Menawarkan Wawasan Baru bagi Astronom
Bahkan, proyek EHT melangkah lebih jauh, menggunakan radioteleskop di delapan observatorium pada seluruh dunia, untuk menciptakan teleskop baru yang lebih kuat. Teknik ini disebut dengan very long baseline interferometry (VLBI).
Saat bumi berputar, masing-masing teleskop yang menangkap gelombang cahaya yang berbeda dari pancaran materi di sekitar lubang hitam. Hasil dari pola-pola yang tercipta, pada akhirnya digabungkan untuk membentuk gambaran yang lebih lengkap.
Sinyal yang diterima pada setiap antenna harus dicocokan gelombang demi gelombang, sekalipun piringannya berada pada belahan bumi lain. Dus, setiap lokasi dilengkapi dengan jam atom.
Suksesnya EHT dalam mendeteksi M87* dan Sagittarius A* memberikan bukti ganda mengenai lubang hitam supermasif. Sejauh ini, teori relativitas umum Einstein tidak mampu menjelaskan apa yang terjadi di lubang hitam pada skala paling kecil tak terhingga.
“Lubang hitam adalah lingkungan ‘paling ekstrim, kacau dan bergejolak’ yang pernah ada” terang ahli astrofisika Jerman, Heino Falcke, kepada Agence France-Presse.
Namun berkat adanya EHT, aspek teori fundamental ini sekarang dapat diuji.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR