Nationalgeographic.co.id - Tahun 2013, Sanjeeta Pokharel pertama kali menyaksikan gajah asia merespons kematian. Seekor gajah betina yang lebih tua di India meninggal karena infeksi. Gajah betina yang lebih muda berjalan berputar-putar di sekitar bangkai gajah. Tumpukan kotoran segar mengisyaratkan bahwa gajah lain baru saja berkunjung.
Kisah tentang gajah asia yang tampak berduka atas kematian anaknya sudah lama terdengar. Bahkan para peneliti sempat menyaksikan perilaku para gajah ini di alam liar.
Namun untuk memahami perilaku ini, para peneliti perlu memiliki keberuntungan besar. Mereka harus berada di tempat dan waktu yang tepat.
YouTube pun jadi pilihan untuk memahami serta mendokumentasikan reaksi gajah asia terhadap kematian.
Hasil penelitian diterbitkan di jurnal Royal Society Open Science. Para peneliti mengungkapkan metode studi mereka yang tidak ortodoks. Dalam laporan tersebut, mereka mengungkapkan tentang respons kematian gajah, beberapa di antaranya tidak terduga.
Belum ada dokumentasi ilmiah tentang gajah yang berkabung
“Ada cerita tentang itu, ada dokumentasi surat kabar, tetapi tidak ada dokumentasi ilmiah,” Sanjeeta Pokharel, salah satu penulis studi tersebut.
Penelitian pun dialihkan ke sumber lain, seperti yang ditemukan di YouTube. Ini dilakukan untuk lebih memahami hewan yang sulit dipelajari. Dengan pendekatan ‘iEcology’, para peneliti menyisir video untuk menghemat waktu. Cara ini juga dapat memperluas ukuran sampel serta menganalisis perilaku langka.
"Anda harus berada di sana pada waktu yang tepat. Namun seberapa besar peluangnya? Selain itu, biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit,” kata Ximena Nelson, seorang ahli perilaku hewan di University of Canterbury.
Memanfaatkan YouTube untuk mengamati perilaku gajah asia
Untuk melakukan analisis, tim menggunakan kata kunci ‘kematian gajah asia’ dan ‘respons gajah terhadap kematian’ di YouTube. Setelah memilah-milah, fokus diarahkan pada 39 video yang menangkap 24 contoh perilaku berkabung gajah asia dari 2010-2021. Juga video tambahan yang disediakan oleh salah satu rekan penulis penelitian.
Dalam video tersebut, gajah asia secara teratur berjaga-jaga di atas bangkai. Mereka mengubah postur, membuat suara, dan menyelidiki serta menyentuh bangkai.
Secara berkala, gajah juga tampak menenangkan satu sama lain saat merespons kematian. Para gajah saling menyentuh dengan belalai atau kepala, mengendus satu sama lain. “Terjadi interaksi yang untuk menenangkan,” tulis peneliti.
Baca Juga: Seperti Manusia, Gajah Bisa Kesepian yang Menyebabkan Gangguan Saraf
Baca Juga: Eksekusi Gajah, Metode Hukuman Mati Era Kuno yang Mengerikan
Baca Juga: Trik Belalai Gajah untuk Mendapatkan Daya Tampung Air Lebih Banyak
Reaksi yang paling umum termasuk mengendus dan menyentuh. Misalnya, banyak gajah menyentuh wajah atau telinga bangkai dengan belalainya. Dua gajah muda menggunakan kaki untuk menggoyang gajah yang sudah mati. Dalam tiga kasus, sang induk berulang kali menendang anaknya yang sekarat atau mati.
Gajah asia juga berkomunikasi dengan sentuhan saat hidup, kata Pokharel. Saat tidur, belalai mereka juga mungkin saling bersentuhan. Gajah yang lebih muda sering terlihat berjalan dengan belalai yang saling berkaitan, katanya.
Respons lain yang sering dilakukan terhadap kematian adalah membuat kebisingan. Gajah dalam video mengeluarkan suara seperti terompet atau bergemuruh.
Seringkali, gajah berjaga-jaga di atas bangkai. Mereka tetap dekat, kadang-kadang tidur di dekatnya dan kadang-kadang mencoba mengusir manusia yang mencoba menyelidiki. Beberapa mencoba mengangkat atau menarik gajah yang mati.
Anehnya, dalam lima kasus, betina dewasa mengambil tubuh anak gajah yang mati dan membawanya melalui hutan. Itu adalah perilaku tidak biasa yang menunjukkan bahwa gajah betina dapat mengungkapkan ada sesuatu yang salah.
Bukti kuat bahwa gajah adalah hewan yang cerdas
Penelitian ini memberikan wawasan berharga tentang perilaku gajah. “Selain itu juga menambah bukti yang menunjukkan bahwa gajah adalah hewan sangat cerdas,” tutur Pokharel.
Gajah dapat mengendus perbedaan antara jumlah makanan serta mengetahui kapan tubuh mereka menghalangi (jenis kesadaran tubuh khusus). Mereka mampu memindahkan barang untuk berdiri dan meraih makanan.
Di mata manusia, hewan-hewan ini menyerupai orang tua yang berduka dan tidak siap untuk melepaskan anaknya. Sementara Pokharel lebih berhati-hati dalam menafsirkan tindakan hewan.
Para peneliti enggan untuk menempatkan emosi manusia pada hewan. Meskipun gajah mungkin tampak berkabung dengan cara yang sama seperti manusia, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. Ini untuk mengetahui apa motivasi di balik perilaku berkabung itu.
Memahami tentang bagaimana gajah memandang kematian dapat memberi wawasan tentang kemampuan kognitifnya yang sangat kompleks. Yang paling penting, Pokharel berharap hal itu juga akan membantu melindungi gajah. Terutama gajah asia yang sering berkonflik dengan manusia.
Source | : | New York Times,Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR