Nationalgeographic.co.id—Bon Rojo di Blitar merupakan salah satu ruang terbuka hijau sejak zaman Hindia Belanda. Diperkirakan, taman ini sudah ada sejak tahun 1890 dan terus berkembang sampai saat ini.
Jeffry Dwi Kurniawan menulis dalam bukunya berjudul Bon Rojo (2022) bahwa "Bon rojo terletak di daerah bendogerit yang mana daerah tersebut menjadi pusat keramaian kota."
Jeffry menambahkan bahwa di sebelah utaranya terdapat rumah dinas burgemeester (walikota) yang dahulunya kantor Controleer perkebunan.
Ruang terbuka hijau itu ada setelah Belanda masuk di Blitar. Taman ini berada dalam satu kompleks dengan rumah dinas bagi walikota atau burgermesteer.
Batas-batas wilayahnya di sebelah timur ialah Gereja Santo Yusuf, paroki, dan sekolah HIS Katolik Blitar yang sekarang bernama SMAK Diponegoro Blitar. Di sebelah selatannya berbatasan dengan OSVIA Blitar, sedangkan di sebelah baratnya berbatasan dengan Sungai Urung-urung.
Menurut Kunto dalam buku Jeffry, disebutkan bahwa, "cuma Kota Malang, Bogor, dan Medan yang mampu menandingi kelestarian alam stadstuin (taman kota) di Blitar."
"Dalam hal kebersihan atau keresikan kota Madiun, Blitar, Makasar, dan Medan tempo dulu sangat menonjol bahkan sempat menggondol juara kebersihan kota," terusnya. Di Gemeente Blitar terdapat ruang terbuka hijau yaitu Bon Rojo yang rindang dan bersih.
Terdapat 3 versi arti nama dari Bon Rojo. Pertama, kata Bon Rojo berasal dari Kebon Rojo bermakna kebun miliknya rojo atau taman miliknya raja. Kedua, Bon Rojo berarti kebun raya karena lafal Jawa menyebutkan huruf “J” dibaca dengan huruf “Y” sehingga pelafalannya menjadi kebun raya. Adapun versi ketiga, kebun praja atau taman kota namun dalam perkembangannya masyarakat Blitar menggunakan versi yang pertama.
Selain 3 versi penyebutan, taman ini juga disebut dengan Kebon Retjo. Disebut Kebon Retjo karena terdapat sebuah arca Ganesha dan Prasasti Kinewu yang ditempatkan di sana.
Sekitar tahun 1960-an, arca tersebut disimpan di pendopo kabupaten dan sekarang disimpan di Museum Penataran agar lebih terawat. Sedangkan arca yang terdapat di dalam taman diganti dengan arca ganesha yang baru.
"Secara hak kepemilikan tanah, tanah ini merupakan milik gemeente Blitar, sedangkan tanah gereja merupakan tanah milik gereja setempat," tulis Jeffry.
Mulanya, dibukanya taman kota Blitar ini difungsikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai laboratorium tanaman unggulan.
Selain itu juga berfungsi sebagai tempat persemaian segala macam tanaman pohon lindung, jenis tanaman keras, tanaman hias, bunga-bungaan, dan lahan tempat membudidayakan berbagai jenis rumput atau gazon untuk meningkatkan kualitas perkebunan (onderneming) di Blitar.
Begitupun disebut dalam surat kabar Bataviaasch Niewblad terbitan 19 Desember 1907, dinyatakan bahwa "Bon Rojo adalah laboratorium tanaman unggulan sehingga disebut sebagai miniatur Kebun Raya Bogor."
Baca Juga: Kota Blitar dalam Nostalgia Sebungkus Roti
Baca Juga: Anthony Fokker, Pembuat Pesawat Andalan PD I yang Lahir di Blitar
Baca Juga: 170 Tahun Kebun Raya Cibodas: Usaha Konservasi hingga Wisata Alam
Baca Juga: Tuan Treub, Sosok di Balik Keindahan Kebun Raya Bogor dan Silang Monas
Beberapa tanaman yang membuat onderneming Belanda berjaya di Blitar, tidak lepas dari proses riset yang terjadi di dalam areal taman.
Namun, selain sebagai wadah bagi kebutuhan riset agrikultur Belanda, Bon Rojo juga didirikan untuk tempat rekreasi bagi masyarakat Belanda dan masyarakat Blitar sehingga menjadi kebanggaan kota.
Selain itu, ada pula koepel yang khas dengan gaya arsitektur Belanda. "Bangunan ini dibuat oleh administraturnya untuk tempat berteduh," ungkap Jeffry kepada National Geographic Indonesia.
Menelusuri jejak koepel di Bon Rojo, tidak lepas dari posisi kolam yang mengitarinya. Keindahan taman lantas terpancar dari sana. Gaya arsitektur Eropanya telah mewarnai. Setidaknya, Bon Rojo yang sempat terlupakan zaman, telah menjadi warisan sejarah. Terlebih, menjadi kebanggan bagi rakyat Blitar.
Source | : | Bon Rojo (2022) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR