Nationalgeographic.co.id—Aroma harum mengalun dari sebuah bangunan kenes art-deco. Tampak depannya menampilkan jenama bersimbol jempol.
Seorang lelaki tua berkaus polo duduk termangu di dekat mesin hitung. Namanya Hartanto, tampaknya sedang menunggu pelanggan. Dia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara hasil perkawinan Njoto Harsono dan Setjaningsih, pendiri Toko Roti Orion Blitar. Toko warisan Njoto Harsono (1912-1982) yang menjadi penanda kuliner tiga zaman—zaman Hindia Belanda, zaman Jepang, dan zaman Kemerdekaan.
Lelaki 67 tahun itu telah dipercaya ayahnya untuk mengelola perusahaan roti keluarga sejak 1970-an. Mungkin saja alasan Njoto mewariskan usaha ini ke anak ketiga karena mengikuti konstelasi rasi bintang Orion. Dalam penanggalan Cina disebut “Shen” artinya “tiga”—merujuk pada tiga bintang utama dalam sabuk rasi bintang Orion. Atau, barangkali orang tuanya mewariskan kepada Hartanto karena lelaki ini lulusan Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Perusahaan UNAIR, 1980.
Sejatinya Toko Roti Orion adalah perusahaan keluarga yang tersebar di beberapa kota. Membentang dari Purwokerto, Solo, Kediri, Pasuruan, Lumajang, Malang, sampai Blitar.
“Ayah saya khan dulu belajar dari kakaknya di Solo awal 1930-an,” ingatan Hartanto pun mengembara ke masa rintisan bisnis ayahnya.
Dia berkisah saat kedua orang tuanya merintis bisnis. Njoto bertemu jodohnya dan menikah pada 1937 di Solo. Sebuah foto berwarna pernikahan mereka masih terpajang di ruang keluarga. Awal musim kemarau 1938 pasangan baru pun hijrah ke Blitar. Mereka membuka cabang Orion di sebuah toko kecil bilangan Merdeka No.146. Selama setengah tahun mereka menjual roti dari agen Orion Kediri yang telah buka sepuluh tahun sebelumnya.
Pada 1957 toko dan pabrik roti milik Njoto berpindah beberapa ratus meter ke seberang jalan. “Di sini lebih luas ruangannya, di belakang masih leluasa untuk pabrik pembuatan roti,” tukas Hartanto.
Kini, Hartanto memperkerjakan tujuh orang karyawan di pabrik rotinya. Pagi itu para karyawan sedang memproduksi roti tawar. Mereka bekerja dari pukul 6.30 hingga 14.00. Di sudut ruangan tertumpuk rapi kantong gandum, susunan rak telor, beberapa sak gula, dan mentega yang siap diolah. Sebagian rak-rak dorong telah setengah terisi. Seorang karyawan sedang mengoperasikan mesin pengaduk adonan lalu lainnya memasukkan dalam cetakan.
Tampak lelaki tua berbadan bungkuk karena selalu bekerja dengan posisi membungkuk. Ia tak hentinya sibuk mengeluarkan cetakan-cetakan aluminium berisi roti dengan galah dari dalam kamar pemanggangan. “Yah, panas juga tapi sudah biasa”, jawabnya enteng. Setelah dikeluarkan dari pemanggangan, proses selanjutnya adalah pemotongan roti. Sekilas bentuk roti itu mirip mobil VW Combi.
Dari kamar pemanggangan inilah aroma harum khas roti menyeruak lewat cerobong asap.
Pada zaman kolonial macam roti masih sedikit, kata Hartanto. Roti semir dan roti tawar paling banyak disuka orang-orang Belanda yang bermukim di Blitar. Bahkan, sampai sekarang masih menjadi favorit orang-orang Blitar. “Pelanggannya tentara KNIL, termasuk roti kelas menengah ke atas lah,” ujarnya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR