Mereka juga menyingkap sejumlah stupa kecil—atau kerap disebut stupika—yang pada masa silam digunakan sebagai benda persembahan. Dia menambahkan bahwa stupika itu terbuat dari tanah liat yang tidak dibakar, melainkan hanya dikeringkan. Belakangan, jumlah stupika yang ditemukan di halaman Borobudur itu lebih dari 2300-an buah. Sementara itu tim proyek pemugaran juga menemukan 252 tablet dari tanah yang materialnya serupa dengan stupika.
Tim mahasiswa Universitas Indonesia saat itu berhasil menemukan lima buah periuk terakota utuh, sementara lima periuk lagi ditemukan oleh tim proyek pemugaran candi. Selain itu penggalian cepat tim proyek pemugaran berhasil mengumpulkan sejumlah 14.000 keping pecahan tembikar, ungkap Mundardjito.
Untuk temuan logam berikutnya, tim proyek pemugaran juga mengangkat empat gulung lembaran perak di kotak penggalian. Sementara dua gulung lembaran perak lainnya sudah di permukaan tanah, imbuhnya, karena terangkat dan tersorong oleh bulldozer.
“Setelah dibuka di laboratorium,” ungkap Mundardjito, “lembaran perak itu ternyata memuat satu baris tulisan Jawa Kuna.”
Dia mencoba mengaitkan beragam temuan jejak permukiman tadi sebagai kesatuan dalam arkeologi Borobudur. Fungsi utama bangunan suci, seperti Candi Borobudur, merupakan tempat diselenggarakannya berbagai upacara keagamaan secara berkala. Dia menambahkan, untuk pemeliharaan bangunan suci, tentu membutuhkan sejumlah orang yang melakukan upacara, sekelompok orang yang melayani komunitas yang hendak berupacara, dan sekelompok orang yang bertugas memelihara dan memperbaiki bangunan.
“Orang-orang itu sudah tentu memerlukan rumah tinggal dan bangunan-bangunan pelayanan umum di sekitar candi,” ungkapnya dalam ceramah ilmiah di kampus Universitas Indonesia. “Oleh sebab itu keberadaan situs candi dapat dijadikan petunjuk untuk menemukan situs permukiman.”
Baca Juga: Ada Bencana yang Mengintai di Sekitar Danau Purba Candi Borobudur
Baca Juga: Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur
Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur
Baca Juga: Bagaimana Cara Peziarah Kuno Menyaksikan Pahatan Kisah Borobudur?
Sembilan tahun setelah ceramah ilmiahnya, National Geographic Indonesia menjumpai Mundardjito sebagai Board of Expert majalah bingkai kuning ini. Dalam perpustakaan yang sekaligus ruang kerja di kediamannya, dia mengisahkan kembali temuan timnya tentang jejak permukiman jelang pemugaran Candi Borobudur.
Sungguh miris, kisah awal konservasi temuan di halaman candi itu harus berkecamuk penggalian cepat yang dibantu alat berat karena desakan situasi dan kebijakan. “Arkeolog [seharusnya] bekerja dengan cetok,” ujarnya sungguh-sungguh. Sembari mengakhiri kisah muram sebagai seorang detektif masa lalu, dia berkata, “Saya sedih hanya bisa berdiri mengamati stupika-stupika itu terangkat bulldozer.”
Tampaknya kisah yang terjadi pada awal pemugaran kedua ini sudah dilupakan banyak orang—keengganan untuk membahasnya kembali. Sejak diresmikan pada 23 Februari 1983 oleh Presiden Soeharto yang disaksikan Direktur Jenderal UNESCO, seolah perhatian kita dan kebijakan hanya tertuju pada kemilau megah candi nan agung itu. Sementara, kelanjutan penelitian kompleks permukiman Candi Borobudur—seperti yang digagas Mundardjito—tampaknya masih gelap dalam angan.
“Arkeologi bekerja secara pelan hati-hati,” ungkapnya pada suatu kesempatan tentang bagaimana seharusnya ilmu arkeologi bekerja. “Arkeologi itu bicara konteks.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR