Nationalgeographic.co.id—Dinosaurus tidak seperti manusia, mereka tidak memiliki tali pusar karena mereka menyimpan telur. Kantung kuning telur dinosaurus terhubung ke tubuh dengan bukaan seperti celah. Ini juga ditemukan pada hewan darat bertelur lainnya. Ini adalah lubang yang tertutup ketika hewan menetas, meninggalkan bekas luka pusar yang panjang.
Sementara sifat dinosaurus yang bertelur memprediksi bekas luka pusar yang panjang, sebuah studi baru adalah yang pertama mendukung hipotesis ini dengan bukti yang ditemukan dari fosil. Hasil studi ini telah dipublikasikan di jurnal BMC Biology pada 7 Juni 2022 dengan menyertakan judul Oldest preserved umbilical scar reveals dinosaurs had ‘belly buttons’.
Saat ini, banyak ular dan burung hidup kehilangan apa yang disebut bekas luka pusar dalam beberapa hari atau minggu setelah telur menetas. Namun, yang lainnya seperti aligator dewasa, masih menyimpan bekas itu seumur hidup.
Dengan menggunakan pencitraan laser berteknologi tinggi, para ilmuwan dari The Chinese University of Hong Kong (CUHK) dan di seluruh dunia telah mengungkapkan detail terbaik dari fosil dinosaurus berusia 125 juta tahun yang ditemukan di Cina 20 tahun lalu. Analisis mereka menegaskan bahwa dinosaurus tersebut memang memiliki pusar. Terlebih lagi, mereka bahkan membuat rekor baru untuk pusar tertua yang pernah ditemukan pada reptil dan mamalia.
Tim menerapkan teknik Laser-Stimulated Fluorescence (LSF) pada spesimen kulit fosil Psittacosaurus. Pemakan tumbuhan sepanjang dua meter dan berkaki dua ini hidup di Tiongkok selama periode Kapur. Mereka mengidentifikasi sisik khas yang mengelilingi bekas luka pusar yang panjang pada spesimen Psittacosaurus, yang mirip dengan kadal dan buaya hidup tertentu.
“Kami menyebut bekas luka semacam ini sebagai pusar, dan itu lebih kecil pada manusia. Spesimen ini adalah fosil dinosaurus pertama yang mengawetkan pusar karena kondisi pelestariannya yang luar biasa.” kata Michael Pittman, Asisten Profesor dari CUHK's School of Life Sciences dan penulis studi tersebut.
“Meskipun spesimen indah ini telah menjadi sensasi sejak dideskripsikan pada tahun 2002, kami telah dapat mempelajarinya dalam cahaya baru menggunakan pencitraan fluoresensi laser baru, yang mengungkapkan skala dengan detail yang luar biasa.” tuturnya.
Dr. Phil R. Bell dari University of New England di Armidale, Australia, yang merupakan pemimpin studi dan penulis koresponden bersama turut berkomentar, “Spesimen Psittacosaurus ini mungkin adalah fosil terpenting yang kami miliki untuk mempelajari kulit dinosaurus. Tapi itu terus menghasilkan kejutan yang bisa kita hidupkan dengan teknologi baru seperti pencitraan laser.”
Baca Juga: Predator darat Terbesar di Eropa Ditemukan di Pulau Isle of Wight
Baca Juga: Penemuan Dinosaurus Dari Zaman Kapur di Oasis Bahariya, Mesir
Baca Juga: Paralitherizinosaurus japonicus, Spesies Baru Dinosaurus dari Jepang
Baca Juga: Ditemukan: Kaki Dinosaurus yang Terkoyak Akibat Bencana Asteroid
Fosil dinosaurus dari genus Psittacosaurus, yang dikenal sebagai SMF R 4970, ditemukan di Cina pada tahun 2002. Fosil ini diawetkan dengan indah, menunjukkan sisik individu, bulu ekor panjang, dan kloaka pertama yang pernah terlihat pada dinosaurus non-unggas.
Berbaring telentang, fosil ini secara praktis menyajikan semua detailnya kepada para ilmuwan.
Dengan menggunakan pencitraan laser yang mendetail, para peneliti kini dapat mengidentifikasi perubahan pola kulit dan sisik tepat di mana pusar dinosaurus berada, yang menunjukkan di mana kantung kuning telur diserap kembali oleh dinosaurus muda.
Mirip dengan tali pusar, kantung kuning telur adalah apa yang memberi makan embrio yang sedang tumbuh di dalam telur dengan oksigen dan nutrisi. Ada semacam karung bening lain yang terhubung, yaitu allantois, yang mengumpulkan sampah di dalam telur. Sebelum seekor hewan menetas, koneksi ini menutup dan meninggalkan bekas luka yang panjang.
Penemuan ini tidak berarti bahwa semua dinosaurus darat memiliki bekas luka pusar yang sama, tetapi dengan adanya hal ini, maka membuka kemungkinan tersebut.
Source | : | Science Alert |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR