Nationalgeographic.co.id—Di saat semua orang berusaha menghindar dari serangan SARS-CoV-2, di Inggris, para golongan dewasa muda ini justru jadi relawan terpapar virus itu. Kejadian itu terjadi pertengahan 2021. Para relawan ini diberikan kompensasi kurang dari Rp90 juta untuk waktu dan ketidaknyamanannya.
Studi ini dilakukan oleh para ilmuwan di University of Oxford. Penelitian ini hanya satu dari dua yang disetujui di seluruh dunia yang sengaja memaparkan manusia sehat dengan virus corona. Tujuannya adalah mengukur tingkat kekebalan yang diperlukan untuk mencegah infeksi ulang COVID-19 demi menghasilkan vaksin, dan perawatan yang lebih baik.
Penelitian lain, yang dapat persetujuan juga, dari Imperial College London. Mereka mengeksplorasi beberapa pemuda yang tidak terinfeksi dan tidak divaksinasi bisa terkena COVID-19, sedangkan yang lain justru terlindungi dari infeksi tanpa terpapar jenis virus asli. Mereka juga mencari tahu mengapa beberapa orang bisa memiliki gejala dan ada yang tidak.
Christopher Chiu, dokter penyakit menular dan ahli imunologi di Imperial College London, bersama rekan-rekannya membuka lowongan relawan itu pada Februari 2021. Kriterianya adalah mereka yang sehat berusia antara 18 dan 30 tahun. Mereka mendapati ada 26.937 pendaftar. Tetapi, timnya sangat selektif untuk relawan yang benar-benar layak dalam penelitian ini.
Salah satu relawan untuk penelitian di University Oxford itu adalah pria berusia 29 tahun Paul Zimmer-Harwood, doktor ilmu saraf di kampus yang sama. Dia diketahui sebelumnya pernah mengajukan diri untuk digigit nyamuk yang terinfeksi malaria untuk uji coba vaksin melawan penyakit.
"Dalam pikiran saya (saat ada perekrutan relawan terkena virus corona), itu langsung ya," katanya pada Priyanka Runwal, jurnalis National Geographic. Tujuan dia adalah demi memajukan ilmu pengetahuan yang memang merupakan motivasi penting baginya.
Alastair Freaser-Urquhart tidak pernah memiliki COVID-19 sebelumnya. Dia menjadi relawan tim Chiu dan pernah berkampanya di tahun 2020 untuk "tantangan uji coba" demi pengembangan vaksin. Tahun lalu, dia berusia 19 tahun dan terpilih dari seleksi relawan studi Imperial College atas nama sains dan demi menghormati jutaan orang yang telah kehilangan nyawa karena COVID-19.
Dia mengatakan, yang paling menakutkan adalah saat tetesan cairan bening mengandung sejumlah kecil virus dimasukkan ke hidungnya. "Ada risiko bawaan yang terlibat," ujarnya. Chiu dan tim memantau infeksinya setiap 12 jam, mengambil darah, menyeka hidung dan tenggorokannya, serta menjalankan beberapa tes lain sekitar dua pekan saat gejala ringan mereda.
"Kami sedang dalam proses melakukan analisis yang sangat mendalam terhadap sampel tersebut," kata Chiu. Dia sangat tertarik mengetahui mengapa hampir setengah dari 36 peserta tidak sakit atau mengembangkan antibodi terhadap virus.
Dia juga berencana meluncurkan penelitian dalam beberapa bulan untuk menginfeksi para relawan yang sudah divaksinasi dengan varian Delta. Diketahui, varian itu menjadi penyebab lonjakan besar pertengahan tahun silam saat vaksinasi berjalan. Penelitian itu hendak mengetahui mengapa bisa terjadi.
Dosis virus yang diberikan tim Chiu pada 2021 sangat sedikit. "Berdasarkan pemahaman kami tentang studi serupa dengan virus lain, kami mengharapkan setidaknya 10 kali lipat atau lebih virus untuk mencapai jenis tingkat infeksi yang sama," ujarnya. "Tetapi itu adalah kombinasi dari fakta bahwa orang tidak memiliki kekebalan dan juga sifat virus yang sangat menular."
Secara etika medis, penelitian semacam itu tidak begitu kontroversial. Akan tetapi, masalahnya, ilmuwan lain memandang penggunaan virus dosis rendah dan menargetkan demografi yang rentan untuk studi COVID-19 yang menantang pada manusia tidak bisa dibenarkan.
Pasalnya, pada awal 2021, saat percobaan awal dibentuk, terapi penyelamatan yang andal tidak tersedia. Inilah yang menjadi kontroversi dalam persidangan etis untuk dilakukan.
Di satu sisi, eksperimen serupa bisa saja diterapkan pada hewan. Sayangnya, penggunaan hewan akan memiliki hasil yang tidak akurat untuk mencerminkan respons manusia terhadap penyakit atau perawatan. Keuntungan uji coba pada manusia bisa mendapat gambaran tentang elemen sistem kekebalan yang dapat mencegah seseorang terinfeksi atau perkembangan gejala setelah terpapar virus.
Baca Juga: Dua Tahun Pagebluk, Virus Corona dan Evolusinya yang Belum Berakhir
Baca Juga: Vaksin Baru Covid 19 dari Austria Bisa Melawan Semua Varian SARS-CoV-2
Baca Juga: Rekor Suram Pecah, AS Laporkan Satu Juta Kasus COVID-19 per Hari
Baca Juga: Rekor Terlama, Seorang Pasien Terinfeksi COVID-19 hingga 1,5 Tahun
“Dengan studi tantangan, Anda dapat melakukannya karena Anda bisa mendapatkan sampel [darah, jaringan, pernapasan] sebelum infeksi dan terus mengambil sampel setelah infeksi,” kata Kathleen Neuzil, ahli vaksin di University of Maryland. Ketika pasien tetap diamati di lingkungan rumah sakit yang terkendali, di sini akan aman dari penyebaran dan membuat para ilmuwan bisa mengidentifikasi infeksi tanpa gejala.
Ketika studi ini disetujui di Inggris, Neuzil juga memikirkan membuka kemungkinan membuat uji coba pemahaman COVID dengan peserta muda yang sehat di AS.
“Studi semacam itu mungkin mengarah pada wawasan ilmiah tentang proses penyakit yang akan sulit diperoleh melalui studi observasional karena waktu yang tepat dari infeksi diketahui,” kata Dan Barouch, seorang ahli imunologi dan virologi di Harvard Medical School yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Bagaimanapun, Barouch berpendapat, studi semacam ini bukan pengganti uji klinis skala besar. "Sebuah studi tentangan manusia, menurut definisi, adalah populasi kecil yang sangat dipilih, hampir pasti orang muda dan sehat. Itu tidak akan menangkap luas dan keragaman spesies manusia," terangnya.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR