Nationalgeographic.co.id—Para tokoh bangsa banyak tertawan oleh pemerintah kolonial. Interniran atau tahanan politik Belanda ini dipenjara di berbagai sel tahanan sementara di Jawa dan Sumatera.
Terbesit keinginan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk membangun kamp tahanan baru. "Artinya lewat pemindahan ini, pemerintah kolonial Belanda ingin menciptakan koloni baru yang lebih baik," tulis Pius Agung Setiawan.
Ia menulis dalam skripsinya kepada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan judul Pergulatan orang-orang buangan di Boven Digoel dan Pulau Buru : Studi Narasi-Diskripsi yang dipertahankan pada tahun 2007.
Sutan Sjahrir adalah salah satu tokoh yang pernah merasakan terasing di Boven Digoel. Menurutnya, ketika ia berada di sana, kamp itu terlihat layaknya perdesaan yang baik layak huni, laiknya di Jawa. Ia juga menyebutnya dengan istilah bestuurs-terrein, permukiman Belanda atau Eropese wijk di Jawa.
Lewat edaran pemerintah pada 10 Desember 1926, pemerintah Hindia Belanda berupaya untuk membuka hutan belantara di Papua dan membentuk wilayah administratif onder-afdeling Boven Digoel dengan Tanah Merah sebagai pusat tata prajanya.
Proyek pemerintah ini dimulai pada tahun 1927 dengan pemilihan opsir bernama Kapten L.Th. Becking. Setelahnya, ditunjuk pula 120 tentara untuk mengawal pembukaan hutan belantara, tempat dibangunnya kamp. Dibawa juga sejumlah 60 kuli paksa yang membabat hutan dan membangun kampnya.
Bagaimanapun, kamp tahanan ini dibuat secara layak untuk dihuni, sehingga tugas Becking menjadi lebih berat. Para interniran gelombang pertama juga membantu pendirian rumah-rumah di kamp pembuangannya.
Tidak boleh dilupakan, para interniran di sini adalah tahanan politik yang notabenenya adalah bangsawan hingga pegiat politik nasional atau tokoh bangsa. Seperti halnya para volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda) yang memberontak pemerintah, akan dibuang ke sini.
Berbekal celurit dan kapak, para interniran, kuli paksa dan sejumlah tentara di bawah pengawasan Kapten Becking, mulai membelah hutan. Tak jarang, letih dan pegal berhimpun jadi satu saat kapak mereka berurusan dengan pohon-pohon raksasa.
Untuk mempercepat penebangan pohon, antara pohon besar akan dikaitkan dengan tali yang saling terhubung dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Tujuannya untuk ikut merobohkan pohon sekaligus.
Menjelang gelap, mereka yang kepalang terjebak di hutan, mulai mendirikan tenda untuk berkemah. Para tentara mengomandoi pendirian tenda-tenda dengan penerangan menggunakan lampu stromking.
Penebangan yang dilakukan selama tiga hari, telah membuka lahan untuk didirikan perkampungan dengan beberapa infrastruktur. Di sana dibangun barak-barak tentara, rumah sakit, stasiun radio hingga kantor pos, layaknya perkampungan di Jawa.
Baca Juga: Mohammad Hatta Meluruskan Kontroversi Peristiwa Rengasdengklok 1945
Baca Juga: Dari KMB ke Pepera 1969, Sekelumit Kisah Sejarah Indonesia dan Papua
Baca Juga: Bung Hatta: Stalin Memarahi Semaoen Karena Konvensi Nasionalis
Baca Juga: Selarik Tembang Kenangan Orang-orang Buangan di Boven Digoel
Menurut Pius, interniran gelombang pertama tinggal di barak-barak tentara. Mereka hanya disediakan lemari bagasi dan tempat tidur. Barak mereka juga berlantaikan tanah liat.
Seiring berjalannya waktu, kamp Boven Digoel terus tumbuh. Pohon-pohon dan hutan di sekelilingnya terus ditebang, wilayah pengasingan itu menjadi lebih luas. Menariknya, beberapa interniran yang mulai menginginkan pendirian rumah pribadi, semakin getol membuka hutan.
Setelah dibukanya satu lahan untuk dibangun rumah, akan dilakukan pengundian untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan lahan itu dan membangun rumah di atasnya.
Tokoh bangsa seperti Moh. Hatta, memanfaatkan waktunya di Boven Digoel, di rumah sementaranya di sana. Ia menikmati seduhan di pagi dan sore hari sambil membaca dan selebihnya menulis. Begitulah para tokoh, sekalipun terasing, pikiran mereka tetap cemerlang dan tetap produktif untuk menulis.
Source | : | Repository USD |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR