“Akhirnya jelas di sini bahwa tiak ada peran metode memasak Portugis di dalam teknik memasak rendang dan balado minangkabau," ungkapnya dalam buku itu. "Teknik rendang adalah autentik masakan khas Minangkabau.”
'Di ma bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang'
Reno melanjutkan perjalannya dalam ekspedisi kuliner. "Saya menemukan marandang, itu adalah sebuah kata kerja. Itu dipadankan dengan randang (bahasa Minangkabau untuk rendang), itu adalah kata kerja," ujarnya.
"Marandang itu proses menihilkan air dengan cara diaduk terus-menerus di atas api kecil hingga airnya zero—airnya habis." Inilah cara memasak rendang yang berawal dari berbagai bahan untuk menghasilkan kalio, kemudian menjadi rendang.
Cara ini jugalah yang membuat daging rendang bisa awet berhari-hari untuk dimakan lain waktu. Belum lagi, secara budaya, rendang disajikan dengan daging berukuran besar untuk dimakan ramai-ramai, tapi tidak bisa dimakan sekali, dan sehingga perlu disimpan.
Rendang diperkirakan muncul karena kebudayaan merantau orang Minangkabau sendiri. Sistem matrilineal urang awak menempatkan laki-laki harus merantau, dan menjadi orang yang menumpang di rumah istrinya.
Kawasan Minangkabau dekat dengan pelabuhan, perjalanan dari dan ke pelosok pun harus menyusuri sungai. Pelayaran ke negeri jauh memakan waktu berhari-hari, sehingga orang Minangkabau harus menjaga makanannya tetap awet. Diperkirakan inilah yang mendorong rendang muncul.
Ditambah, kedatangan agama Islam dan meresap ke dalam budaya membuat daging sapi dan kerbau sering dimanfaatkan. "Pembuatan rendang ini menurut spekulasi saya itu sudah ada sejak kedatangan Islam ke Minangkabau," ujar Asvi Warman Adam dari Pusat Riset Politik-Badan Riset Inovasi Nasional (PRP-BRIN). "Tentunya Islam datang, otomatis praktek kurban itu dilakukan."
Perjalanan untuk perdagangan dan haji, menjadi salah satu alasan yang menyebabkan orang Minangkabau membuat rendang, terang Asvi. Perjalanan ke Makkah butuh berbulan-bulan untuk berlayar, dan biasanya jamaah menetap untuk belajar agama.
Meski demikian, tradisi rendang memang berbeda-beda. Beberapa daerah di lebih dalam atau wilayah darek seperti Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota, bumbunya sangat minimalis, bahkan sedikit rempah-rempah. Penggunaan cabai, bawang merah, bawang putih, laos, jahe, daun kunyit, dan daun salam hanyalah opsional. Reno menyebut, rendang seperti itulah yang asli.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR