“Akhirnya, hampir sepertiga kekaisaran Romawi di timur ada di tangannya,” tutur Toler. Zenobia secara konsisten menang melawan pasukan Romawi Suriah. Namun ia terpaksa mundur ketika menghadapi Aurelianus. Ia mencari perlindungan di Palmira sampai akhirnya ditangkap oleh kekaisaran Romawi.
Menurut beberapa sumber, dia meninggal di pengasingan, saat dibawa ke Romawi. Yang lain mengatakan dia dipamerkan sebagai bagian dari harta perang dalam pawai kemenangan.
Boudica, murka sang istri kepala suku
Pahlawan wanita kuno Inggris, Boudica awalnya tidak bercita-cita untuk memimpin pasukan melawan Romawi. Bahkan, suaminya Prasutagus merupakan kepala suku Iceni yang berkuasa, menjalin kerja sama dengan Romawi. Setelah kematian Prasutagus, Romawi mengeklaim wilayah Prasutagus. Tidak hanya itu, tentara kekaisaran Romawi dikirim untuk merebut kekayaan pribadinya. Ketika memprotes, Boudica dicambuk di depan umum dan dipaksa untuk menyaksikan tentara Romawi memerkosa putrinya.
“Boudica yang murka menyatukan Iceni dengan suku-suku lain yang juga menderita di bawah pemerintahan Romawi,” Toler menambahkan. Sekitar tahun 61 Masehi, ia pun memimpin pemberontakan. Pasukannya menjarah kota-kota Romawi Camulodunum, Londinium dan Verulmium yang diromanisasi.
Pada awalnya, Boudica menghadapi sedikit perlawanan. Pasukan utama Romawi, yang dipimpin oleh Suetonius, sibuk berperang melawan Druid di Wales. Ketika Suetonius kembali, kedua kekuatan bertemu dalam satu pertempuran.
Terlepas dari keunggulan jumlah pasukan Boudica, tentara Romawi yang tangguh dalam pertempuran terbukti menjadi musuh yang tidak terkalahkan. Pertempuran itu akhirnya jadi ajang pembantaian.
Tentara Romawi tidak hanya membunuh prajurit yang kalah, tetapi juga anak-anak perempuan yang tidak bersenjata. Menurut Tacitus, Boudica memilih untuk meracuni dirinya sendiri daripada jatuh ke tangan Romawi.
Mawiyya
Suriah Romawi menjadi tempat pemberontakan lain yang dipimpin oleh seorang wanita. Pada abad ke-4, pemimpin Arab Mawiyya dan konfederasi suku nomaden di bawah pemerintahannya memberontak melawan Romawi. Dikalahkan, Romawi akhirnya menuntut perdamaian dengan syarat Mawiyya. Kemudian Mawiyya, yang sekarang menjadi sekutu kekaisaran, bergegas membantu Konstantinopel. Ibukota Kekaisaran Timur dikepung oleh gerombolan Goth, Hun, dan Alan. Prajurit gurun mengalahkan penjajah; Ammianus Marcellinus mengeklaim orang Arab Mawiyya menyelamatkan kota.
Sejarawan Yunani abad kelima Sozemen, menggambarkan kekalahan Mawiyya dari pasukan Romawi. Ia dengan mengatakan, "Perang ini sama sekali tidak hina, meskipun dilakukan oleh seorang wanita."
Amanirenas si Pemberani
Kekalahan Romawi atas Cleopatra dan penaklukan Mesir menyebabkan kekaisaran berkonflik dengan pejuang wanita lain: Amanirenas.
Dengan Mesir di bawah kendali Romawi, Augustus dan pasukannya mendorong ke selatan menuju kerajaan Nubia Kush. Sekitar 25 Sebelum Masehi, ratu Kushite memutuskan untuk menyerang Romawi terlebih dahulu. Pejuang wanita bermata satu ini dikenal sebagai Amanirenas si pemberani. Sementara gubernur Mesir memusatkan perhatiannya pada Arab, Amanirenas memimpin pasukannya ke jantung Mesir. Ia merebut beberapa pos Romawi dan merebut dua kota Romawi sebelum mundur ke Kush dengan tawanan dan jarahan. Di antara barang rampasan adalah kepala perunggu yang diambil dari patung Augustus.
Tidak tinggal diam, kekaisaran Romawi segera menyerang balik. Setelah merebut kembali kota-kota mereka, orang-orang Romawi menyerbu tanah air Kushite dan membakar ibu kotanya. Amanirenas tidak menerima kekalahan. “Selama lima tahun dia memimpin pasukannya dalam perang gerilya melawan legiun Romawi,” imbuh Toler. Bertempur di ujung jalur pasokannya di medan gurun, kekaisaran Romawi akhirnya menuntut perdamaian dengan syarat yang menguntungkan Kush.
Bagi bangsa Romawi, pejuang wanita yang bertempur dengan gagah berani melawan pasukan merupakan hal yang tidak biasa. Meski terlihat aneh oleh Romawi, wanita tidak takut mati itu angkat senjata demi mempertahankan wilayah dan melindungi penduduknya.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR