Nationalgeographic.co.id—Selama berabad-abad, Romawi memperluas wilayah kekuasaannya. Di luar perbatasan, orang-orang mengangkat senjata untuk mempertahankan wilayah mereka dari penaklukan oleh Romawi. Semua saling bertempur untuk memperjuangkan wilayah, entah itu merebut atau mempertahankan. Meski paling dominan, bukan hanya laki-laki saja yang ikut angkat senjata. Tidak takut mati, pejuang wanita angkat senjata lawan pasukan Romawi.
Dari Britania hingga ke Suriah, wanita juga memimpin pasukan melawan pasukan Romawi. Beberapa dari mereka menang, tidak sedikit yang berhasil dikalahkan. Sejarawan Romawi yang mencatat kisah mereka selalu mengungkapkan keterkejutan dan kekecewaan ketika legiun kalah. “Terutama kalah ketika melawan pemimpin wanita,” ungkap Pamela Toler di laman Military History Now.
Dari sudut pandang sejarawan Romawi, gagasan bahwa wanita bisa berperang itu tidak wajar, apalagi memimpin pasukan. Hal ini sama tidak wajarnya dengan sapi berkepala dua.
Cleopatra VII, tidak sekedar wajah cantik
Meskipun lebih dikenang karena hubungan romantisnya, Cleopatra yang legendaris memimpin armada Mesir dalam Pertempuran Actium. Ini adalah pertempuran besar angkatan laut yang merupakan pertempuran yang menentukan dalam perang Antony dan Cleopatra dengan Oktavianus.
21 September 31 Sebelum Masehi, armada Romawi menjebak pasukan Cleopatra dan Antony di lepas pantai barat Yunani. Tepat ketika semuanya tampak hilang, keduanya melakukan upaya putus asa untuk keluar. Ketika kapal Antony membuka celah di tengah armada Oktavianus, 60 kapal Cleopatra menyelinap melalui celah. Kapal-kapal yang mengangkut harta itu pun berlayar menuju Mesir.
Segera setelah itu, Antony menerobos garis musuh dengan 40 kapal dan melarikan diri juga. Ia meninggalkan 500 kapal dan sekitar 5.000 tentara yang menyerahkan nasibnya di tangan Oktavianus.
Peran Cleopatra dalam pertempuran telah lama menjadi bahan perdebatan. Beberapa mengeklaim dia panik dan kabur, kemudian dikejar oleh Antony yang tergila-gila padanya. Yang lain berpendapat bahwa sang ratu melakukan tindakan berani mati. Meski berhasil meloloskan diri, pertempuran Acticum menjadi awal kekalahan beruntun bagi pasangan itu. Rentetan kekalahan pada akhirnya menyebabkan keduanya bunuh diri.
Zenobia, perebut wilayah kekaisaran Romawi di timur
Palmira, sekarang terletak di Suriah, adalah salah satu provinsi terkaya di seluruh Kekaisaran Romawi. Berbatasan dengan wilayah Persia, ini menjadi provinsi vital dan strategis.
Pada 267 Masehi, seorang ratu Palmira bernama Zenobia mengambil alih kekuasaan atas nama putranya yang masih kecil. Ini dilakukan setelah pembunuhan raja. Selama tiga tahun, ia menjadi gubernur Romawi, sama seperti suaminya sebelumnya.
Kemudian pada tahun 270, sesuatu berubah. Tidak diketahui dengan pasti, namun Zenobia mengumpulkan pasukan untuk menantang kedaulatan Romawi di timur. Pertama-tama ia merebut Arab, kemudian Mesir. Lalu Zenobia dan pasukannya menguasai Asia Kecil sejauh utara Ankara di Turki modern.
“Akhirnya, hampir sepertiga kekaisaran Romawi di timur ada di tangannya,” tutur Toler. Zenobia secara konsisten menang melawan pasukan Romawi Suriah. Namun ia terpaksa mundur ketika menghadapi Aurelianus. Ia mencari perlindungan di Palmira sampai akhirnya ditangkap oleh kekaisaran Romawi.
Menurut beberapa sumber, dia meninggal di pengasingan, saat dibawa ke Romawi. Yang lain mengatakan dia dipamerkan sebagai bagian dari harta perang dalam pawai kemenangan.
Boudica, murka sang istri kepala suku
Pahlawan wanita kuno Inggris, Boudica awalnya tidak bercita-cita untuk memimpin pasukan melawan Romawi. Bahkan, suaminya Prasutagus merupakan kepala suku Iceni yang berkuasa, menjalin kerja sama dengan Romawi. Setelah kematian Prasutagus, Romawi mengeklaim wilayah Prasutagus. Tidak hanya itu, tentara kekaisaran Romawi dikirim untuk merebut kekayaan pribadinya. Ketika memprotes, Boudica dicambuk di depan umum dan dipaksa untuk menyaksikan tentara Romawi memerkosa putrinya.
“Boudica yang murka menyatukan Iceni dengan suku-suku lain yang juga menderita di bawah pemerintahan Romawi,” Toler menambahkan. Sekitar tahun 61 Masehi, ia pun memimpin pemberontakan. Pasukannya menjarah kota-kota Romawi Camulodunum, Londinium dan Verulmium yang diromanisasi.
Pada awalnya, Boudica menghadapi sedikit perlawanan. Pasukan utama Romawi, yang dipimpin oleh Suetonius, sibuk berperang melawan Druid di Wales. Ketika Suetonius kembali, kedua kekuatan bertemu dalam satu pertempuran.
Terlepas dari keunggulan jumlah pasukan Boudica, tentara Romawi yang tangguh dalam pertempuran terbukti menjadi musuh yang tidak terkalahkan. Pertempuran itu akhirnya jadi ajang pembantaian.
Tentara Romawi tidak hanya membunuh prajurit yang kalah, tetapi juga anak-anak perempuan yang tidak bersenjata. Menurut Tacitus, Boudica memilih untuk meracuni dirinya sendiri daripada jatuh ke tangan Romawi.
Mawiyya
Suriah Romawi menjadi tempat pemberontakan lain yang dipimpin oleh seorang wanita. Pada abad ke-4, pemimpin Arab Mawiyya dan konfederasi suku nomaden di bawah pemerintahannya memberontak melawan Romawi. Dikalahkan, Romawi akhirnya menuntut perdamaian dengan syarat Mawiyya. Kemudian Mawiyya, yang sekarang menjadi sekutu kekaisaran, bergegas membantu Konstantinopel. Ibukota Kekaisaran Timur dikepung oleh gerombolan Goth, Hun, dan Alan. Prajurit gurun mengalahkan penjajah; Ammianus Marcellinus mengeklaim orang Arab Mawiyya menyelamatkan kota.
Sejarawan Yunani abad kelima Sozemen, menggambarkan kekalahan Mawiyya dari pasukan Romawi. Ia dengan mengatakan, "Perang ini sama sekali tidak hina, meskipun dilakukan oleh seorang wanita."
Amanirenas si Pemberani
Kekalahan Romawi atas Cleopatra dan penaklukan Mesir menyebabkan kekaisaran berkonflik dengan pejuang wanita lain: Amanirenas.
Dengan Mesir di bawah kendali Romawi, Augustus dan pasukannya mendorong ke selatan menuju kerajaan Nubia Kush. Sekitar 25 Sebelum Masehi, ratu Kushite memutuskan untuk menyerang Romawi terlebih dahulu. Pejuang wanita bermata satu ini dikenal sebagai Amanirenas si pemberani. Sementara gubernur Mesir memusatkan perhatiannya pada Arab, Amanirenas memimpin pasukannya ke jantung Mesir. Ia merebut beberapa pos Romawi dan merebut dua kota Romawi sebelum mundur ke Kush dengan tawanan dan jarahan. Di antara barang rampasan adalah kepala perunggu yang diambil dari patung Augustus.
Tidak tinggal diam, kekaisaran Romawi segera menyerang balik. Setelah merebut kembali kota-kota mereka, orang-orang Romawi menyerbu tanah air Kushite dan membakar ibu kotanya. Amanirenas tidak menerima kekalahan. “Selama lima tahun dia memimpin pasukannya dalam perang gerilya melawan legiun Romawi,” imbuh Toler. Bertempur di ujung jalur pasokannya di medan gurun, kekaisaran Romawi akhirnya menuntut perdamaian dengan syarat yang menguntungkan Kush.
Bagi bangsa Romawi, pejuang wanita yang bertempur dengan gagah berani melawan pasukan merupakan hal yang tidak biasa. Meski terlihat aneh oleh Romawi, wanita tidak takut mati itu angkat senjata demi mempertahankan wilayah dan melindungi penduduknya.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR