Nationalgeographic.co.id—Penting bagi masyarakat di suatu daerah untuk memiliki sistem evakuasi darurat. Meski demikian, di setiap tempat, bahkan di perkampungan dalam kota besar, belum tentu memiliki fasilitas evakuasi publik yang memadai. Sehingga, masyarakat mungkin punya cara evakuasi yang diadaptasi dari lingkungan mereka dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana.
"Kampung-kampung tepi sungai di kota-kota di Indonesia tumbuh secara spontan. Penduduk mereka biasanya termasuk orang-orang berpenghasilan rendah dan terpinggirkan yang tidak memiliki infrastruktur pencegahan bencana," kata Hitoshi Nakamura, profesor di Architecture and Environmental Systems, Shibaura Institute of Technology, Jepang.
Maka, penting untuk memahami perencanaan masyarakat perkampungan dalam evakuasi tanggap bencana. Terkadang dalam situasi yang sulit, rencana evakuasi bisa sulit dilakukan karena reaksi psikologis yang kompleks tiap individu yang terkena dampak bencana.
Misalnya, dalam kesiapsiagaan bencana banjir, daya tanggap dan ketangguhan masyarakat yang berisiko sangat penting. Akan tetapi, masih sedikit dikaji bagaimana penghuni permukiman mengandalkan lingkungan mereka selama evakuasi. Kajian seperti ini bisa menjadi sarana dalam perencanaan evakuasi kepada masyarakat terpinggirkan di perkampungan.
Nakamura terlibat dalam penelitian yang dipimpin oleh Irsyad Adhi Waskita Hutama yang merupakan mahasiswa program doktor di institusi yang sama. Mereka menganalisis interaksi dinamis antara karakteristik manusia, elemen risiko jalur, dan konfigurasi jaringan jalur dalam membangun pilihan rute evakuasi banjir.
Analisis itu dilakukan di Terban dan Bener, dua desa yang dilintasi sungai di Kota Yogyakarta.
Hasil penelitian mereka dipublikasikan di International Journal of Disaster Risk Reduction 15 Oktober 2022. Makalahnya bertajuk "Flood disaster evacuation route choice in Indonesian urban riverbank kampong: Exploring the role of individual characteristics, path risk elements, and path network configuration".
"Saya tertarik pada cara masyarakat itu dapat melakukan manajemen risiko bencana dan mengurangi bencana di masa depan. Studi tentang langkah-langkah evakuasi di kampung-kampung tepi sungai akan menunjukkan tindakan penyelamatan jiwa yang andal dalam menanggapi banjir, gempa bumi, dan bencana lainnya," terang Nakamura dalam sebuah pernyataan di Shibaura Institute of Technology.
Dalam studinya, mereka mengumpulkan data ekstensif mengenai faktor risiko jalur lewat simulasi evakuasi berjalan yang direkam dalam video. Setelah itu, wawancara dengan masyarakat dilakukan sebagai eksplorasi terkait kapasitas individu dan pengambilan keputusan. Selanjutnya, para peneliti menganalisis jaringan jalur komputasi.
Para peneliti mendapati bahwa penduduk perkampungan tepi sungai lebih memilih jalur evakuasi berdasarkan kapasitas masing-masing, dan kinerja keselamatan desain jalur. Banyak dari masyarakat mengandalkan persepsi keamanan daripada mengikuti logika spasial. Kondisi seperti ini membuat keputusan rute evakuasi mereka mungkin terganggu, terang para peneliti.
"Studi kami mencoba menjembatani tradisi penelitian tentang studi bencana yang fokus pada pendekatan morfologi di satu sisi, dan pendekatan yang berpusat pada manusia di sisi lain," kata Nakamura.
Berdasarkan jaringan jalur komputasi, masyarakat dalam evakuasi sangat terkait dengan "pilihan sudut yang dinormalisasi pada radius lokal." Para peneliti berpendapat, mayoritas penduduk lebih suka berjalan di rute yang paling lurus agar mencapai titik berkumpul.
Hasil yang diungkapkan dari eksplorasi wawancara, para peneliti juga mendapati, dibanding wanita, pria lebih bisa membaca spasial dan persepsi keselamatan jalan yang lebih tinggi. Hal itu terungkap dari kedua studi kasus di dua desa.
Baca Juga: Kiat Siaga Bencana Banjir dari National Geographic untuk Indonesia
Baca Juga: Mitigasi dan Adaptasi Iklim, Upaya Kunci Menghadapi Perubahan Iklim
Baca Juga: BNPB Belajar Mitigasi Tsunami dari Smong, Kearifan dari Simeulue
Baca Juga: Praktik Mantra Masyarakat Adat Kampung Naga dan Kanekes yang Lestari
Masyarakat juga memiliki kemampuan yang berbeda untuk berjalan di jalur evakuasi yang paling lurus. Secara khusus, kapasitas fisik, jenis kelamin, dan usia memengaruhi keputusan orang dalam menegosiasikan elemen risiko jalur dan mengakomodasi perjalanan teraman.
Temuan lainnya, berdasarkan jaringan jalur komputasi, masyarakat dalam evakuasi sangat terkait dengan "pilihan sudut yang dinormalisasi pada radius lokal." Para peneliti berpendapat, mayoritas penduduk lebih suka berjalan di rute yang paling lurus agar mencapai titik berkumpul.
"Temuannya menunjukkan wawasan kebijakan yang mencakup tindakan pencegahan bencana rutin yang konsisten dengan profil sosial-spasial kampung yang terpinggirkan," Nakamura menjelaskan. "Peningkatan tersebut tidak hanya mencakup langkah-langkah struktural seperti desain perkotaan yang peka terhadap manusia, keterbacaan rute evakuasi melalui rambu, dan penyediaan infrastruktur evakuasi tetapi juga kesiapan masyarakat.
"Langkah-langkah ini harus dimasukkan dalam kebijakan perbaikan kampung dan pengentasan kumuh yang ditujukan untuk mencapai SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan),” sarannya.
Source | : | eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR