Nationalgeographic.co.id—Selama berabad-abad, menjadi seorang kaisar Romawi adalah prospek yang menarik. Orang Romawi saling bersekongkol, bertempur, dan membunuh untuk merebut posisi ini. Meski demikian, menjadi penguasa Romawi kuno adalah bisnis yang berisiko. Terlepas dari kekayaan dan otoritas yang hampir tak terbatas atas pasukan yang kuat dan wilayah yang luas. Pada tahun 2019, sebuah penelitian di jurnal Nature mengungkapkan bahwa 62% — hampir dua pertiga — kaisar Romawi meninggal dengan kejam. Artinya, peluang kaisar untuk bertahan hidup lebih kecil daripada peluang gladiator untuk selamat dari pertarungan. Dengan segala keuntungannya, posisi ini menggiurkan bagi banyak orang. Bagaimana orang Romawi bisa menjadi kaisar?
Secara total, ada sekitar 77 kaisar yang memimpin Kekaisaran Romawi Barat. 94 kaisar lainnya memimpin Kekaisaran Romawi Timur. Dan hampir setiap kali seorang kaisar meninggal, masalah yang sama selalu muncul: siapa yang akan mengambil alih kekuasaan?
Tidak ada prosedur yang ditetapkan untuk mentransfer kekuasaan ketika seorang kaisar Romawi meninggal. Jadi segala cara bisa dilakukan dan seringkali menimbulkan kekacauan.
Warisan
Mewarisi takhta mungkin tampak mudah di dunia modern. Keluarga kerajaan secara tradisional mewariskan gelar mereka kepada generasi berikutnya. Namun hal ini tidak dapat dengan mudah dilakukan di Kekaisaran Romawi.
"Salah satu kelemahan sistem politik kekaisaran Romawi adalah tidak ada aturan atau prinsip yang jelas untuk suksesi," ungkap Richard Saller, seorang profesor klasik dan sejarah di Stanford University. Menurut Saller, ini disebabkan oleh pernyataan kaisar pertama Augustus. Ia akan memulihkan Republik di mana jabatan publik tidak dapat diwariskan.
Mungkin kaisar paling terkenal yang mewarisi takhta adalah kaisar Romawi kelima, Nero. Ibunya, Julia Agrippina, cicit dari Augustus, menjadi istri keempat kaisar Claudius. Ia membujuk suami barunya untuk mengadopsi Nero.
Nero kemudian mewarisi takhta kekaisaran pada usia 17 tahun setelah Claudius meninggal pada tahun 54 Masehi. Beberapa sejarawan Romawi menuduh bahwa Claudius diracuni oleh Agrippina agar putranya bisa menjadi kaisar.
Sementara Nero mewarisi takhta secara relatif damai, pemerintahannya berakhir dalam kekacauan. Banyak menimbulkan masalah, Nero dinyatakan sebagai musuh publik oleh senat. Pada akhirnya, ia ditinggalkan oleh tentara dan berakhir dengan bunuh diri pada tahun 68 M.
“Nero tidak memiliki keturunan untuk menggantikannya,” tulis Tom Metcalfe di laman Live Science. Setelah kematiannya, kekaisaran terjerumus ke dalam kekerasan, banyak berjuang untuk mengamankan takhta.
“Membeli” posisi kaisar
Setelah pembunuhan kaisar Commodus pada tahun 192 Masehi, Kekaisaran Romawi memasuki periode yang dikenal sebagai "Tahun Lima Kaisar."
Pertinax, yang merupakan senator senior Roma, dilantik lebih dulu menjadi kaisar. Namun Garda Praetoria kehilangan simpati pada kaisar baru itu. Pasalnya, Pertinax menolak untuk membayar mereka supaya memberikan dukungan pada kaisar. Garda Praetoria yang seharusnya bertugas melindungi kaisar dengan segera membunuh Pertinax. Itu terjadi tiga bulan setelah mereka memproklamirkannya sebagai kaisar.
Didius Julianus adalah yang berikutnya di atas takhta. Dia pernah menjabat sebagai gubernur beberapa provinsi dan sangat kaya. Menurut sejarawan Romawi Cassius Dio, Garda Praetoria mengumumkan akan menjual tahta kepada yang membayar dengan harga tertinggi.
Julianus memenangkan perang penawaran berikutnya dengan menawarkan 25.000 sesterce untuk setiap prajurit Praetoria. Jumlah ini setara dari gaji beberapa tahun. Setelah menerima tawarannya, Garda Praetoria mengancam senat Romawi sampai mereka memproklamirkan Julianus sebagai kaisar.
Tapi dia tidak menikmati tahta untuk waktu yang lama. Orang-orang Romawi, yang tahu bahwa dia telah membeli jabatan kaisar, secara terbuka menentang kaisar baru. Bahkan pada satu kesempatan, masyarakat melemparinya dengan batu.
Akhirnya, tiga jenderal yang berbeda di provinsi Romawi masing-masing menyatakan diri sebagai kaisar. Mereka bergegas menuju Roma dengan pasukan untuk mengisi takhta. Julianus dan Garda Praetoria melawan salah satu jenderal, Septimius Severus. Mereka mencoba merundingkan kesepakatan pembagian kekuasaan dengannya. Namun akhirnya Garda Praetoria dan senat meninggalkan Julianus. Mereka menyatakan Kaisar Severus dan memerintahkan Julianus untuk dieksekusi, hanya 66 hari setelah dia naik takhta.
Kenaikan pangkat
Beberapa kaisar Romawi awalnya melakukan pekerjaan pemerintahan yang sederhana. Namun berhasil naik melalui jajaran tentara Romawi untuk menjadi perwira dan kemudian komandan.
Pertinax, misalnya, adalah putra seorang budak yang dibebaskan, meskipun ia hanya bertahan beberapa bulan sebagai kaisar. Contoh yang paling terkenal lainnya adalah Diocletian. Ia lahir di tengah keluarga berstatus rendah di Dalmatia. Rekan-kaisarnya Maximianus, putra seorang penjaga toko Pannonia, yang memerintah sampai tahun 305 Masehi.
Diocletian dan Maximianus bertemu saat memperjuangkan karier tentara Romawi. Keduanya merupakan kombinasi yang mematikan, Diocletian memiliki otak politik sementara Maximianus memiliki kekuatan militer.
Maximianus pertama-tama mendukung Diokletianus ke takhta kekaisaran dan kemudian diangkat menjadi pemimpin bersama beberapa tahun kemudian.
Sejarawan William Broadhead di Massachusetts Institute of Technology mengungkapkan bahwa Kekaisaran Romawi adalah otokrasi militer. "Legitasi kaisar didasarkan pada komandonya atas Garda Praetoria yang sangat kuat di Roma. Juga atas mayoritas legiun yang ditempatkan di provinsi-provinsi," katanya. Kedua institusi militer itu segera mengetahui bahwa mereka dapat memainkan peran sebagai “penghasil” kaisar.
Peningkatan karier lewat militer dengan menjadi komandan legiun adalah cara utama bagi calon kaisar untuk mendapatkan loyalitas prajurit.
Garda Praetoria
Claudius, kaisar Romawi keempat, naik takhta selama pecahnya kekerasan yang akan bergema selama berabad-abad. Garda Praetoria berasal dari Republik Romawi sebagai korps pengawal jenderal tentara. Namun mereka kemudian diangkat oleh Augustus, kaisar Romawi pertama, pada 27 Sebelum Masehi menjadi pengawal pribadi kaisar.
Setelah itu, mereka tumbuh dalam prestise. Pada masa pemerintahan kaisar ketiga Caligula, kelompok ini menjadi begitu kuat sehingga mereka bahkan bisa menggulingkan seorang kaisar.
Caligula, cicit Augustus yang memerintah dari tahun 37 Masehi, pada awalnya populer. Namun kisah tentang kesadisannya dan penyimpangan seksual membuatnya digambarkan sebagai tiran yang brutal dan gila. Caligula dibunuh oleh Garda Praetoria pada tahun 41 Masehi.
Garda Praetoria kemudian memproklamirkan Claudius sebagai kaisar. Ini adalah pertama kalinya kelompok pengawal memilih seorang kaisar Romawi dan terus berlanjut beberapa kali.
Pernikahan
Tradisi menetapkan bahwa kaisar Romawi harus laki-laki. Namun beberapa wanita memegang kekuasaan di belakang takhta kekaisaran meski tidak memerintah secara langsung.
Menurut catatan Tacitus, Livia, istri Augustus dan ibu Tiberius, dianggap menentukan transisi pertama kekuasaan kekaisaran. Ia menyingkirkan semua calon ahli waris yang dekat dengan Augustus. “Dengan membunuh para calon, Livia membuka jalan bagi jalan untuk putranya sendiri," kata Broadhead.
Tiberius adalah putra Livia dari pernikahan sebelumnya, jadi dia bukan pewaris takhta yang jelas. Namun ia menjadi kaisar kedua Roma setelah kematian Augustus pada 14 Masehi, berkat pernikahan Livia dengan Augustus.
Baca Juga: Tujuh Hal yang Mungkin Belum Anda Ketahui soal Kaisar Romawi Caligula
Baca Juga: 10 Hal Ini Membuat Kaisar Romawi Marah dan Tak Segan Memberi Hukuman
Baca Juga: Locusta dari Galia, Wanita Peramu Racun Andalan Kaisar Romawi Nero
Ibu Nero, Julia Agrippina, tampaknya telah memanipulasi kaisar Claudius untuk mengadopsi putranya. Nero menjadi kaisar setelah kematian Claudius pada tahun 54 Masehi.
Banyak cerita yang terkait dengan wanita kekaisaran mungkin telah dibumbui atau sekedar rumor belaka, kata Broadhead. Namun ini menunjukkan betapa pentingnya posisi para wanita itu dalam rumah tangga kekaisaran. Mereka bisa jadi faktor penentu dalam siapa memperoleh tahta.
Tidak adanya aturan baku dalam pemilihan seorang kaisar Romawi menimbulkan banyak kekacauan dan perebutan kekuasaan. Meski menjadi kaisar itu memiliki banyak risiko, namun tidak sedikit yang berjuang untuk menduduki posisi bergengsi itu.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR