Nationalgeographic.co.id—Pembunuhan Abu Muslim pada tahun 754 M, memicu serangkaian pemberontakan di bagian timur dunia Muslim oleh para pengikutnya dan kelompok lainnya.
Pemberontakan-pemberontakan ini mengambil corak sosio-religius dan sumber-sumber sejarah cenderung menyebut para pemberontak ini secara kolektif sebagai sekelompok "Khurramiyya."
Istilah "Khurramisme" mengacu pada seperangkat tradisi, kepercayaan, dan praktik keagamaan. Penggunaan istilah "Khurramiyya" (atau Khurramis) disematkan bagi mereka yang mempraktikkannya.
Adam Ali menulis dalam sebuah artikel kepada Medievalists berjudul Khurramism: The story of a medieval religious movement yang diterbitkan pada 17 Februari 2022.
Sebagian besar sumber menggambarkan kelompok Khurramiyya secara negatif. Hal itu dikarenakan beberapa keyakinan agama dan praktik budaya mereka, sebagian besar sumber melaporkannya dengan penuh skandal.
Khurramiyya dan Khurramisme disebutkan dan didiskusikan oleh beberapa sarjana modern. Namun, dalam kebanyakan kasus mereka disebutkan secara sepintas atau dibahas secara dangkal.
"Khurramisme tampaknya telah dipraktikkan di daerah perdesaan dan pegunungan Iran, Irak, Asia Tengah, sebagian Anatolia dan Suriah," imbuh Adam. Khurramisme memang berbagi beberapa elemen dengan Zoroastrianisme.
Bahkan, sumber menunjukkan bahwa Zoroaster, terutama raja dan imam, memandang Khurramisme dengan jijik dan bahkan menyebut penganutnya sebagai bidat (penambahan-penambahan baru dalam ajaran keagamaan).
Beberapa dari mereka percaya pada seks bebas, asalkan para wanita menyetujuinya, dan juga pada kebebasan menikmati semua kesenangan dan memuaskan kecenderungan seseorang. selama tidak merugikan orang lain.
Khurramiyya pertama kali muncul dalam sejarah selama periode Sasania di Akhir Zaman Kuno. Di zaman itu mereka disebut sebagai Mazdakiyya atau Mazdakites dalam sumber karena pemimpin mereka adalah seorang pendeta Zoroaster yang disebut Mazdak.
Adapun pemberian nama Khurramiyya diperkirakan berasal dari nama pemimpin mereka, Babak Khorramdin (Xorramdin). Ia dikenal sebagai pemimpin gerakan Khurramisme di Timur Tengah, utamanya saat para Khurramis berhadapan dengan kekhalifahan Abbasiyah.
Menurut catatan kuno, At-Tabari, diperkirakan popularitas gerakan Khurramisme ini muncul sekitar tahun 736 M, di mana seorang misionaris menjuluki gerakan ini dengan istilah "Din al-Khorramiya." setelahnya, secara berangsur-angsur pemberontakan meletus di banyak kota di Timur Tengah.
Pemberontakan mereka dimanifestasikan sebagai pemberontakan agama karena agama adalah satu-satunya bentuk yang dapat dilakukan gerakan tersebut untuk memobilisasi sejumlah besar orang untuk aksi politik yang melampaui keluarga, lingkungan, desa, dan klan.
Beberapa sejarawan memandang gerakan Khurramisme di abad pertengahan ini sebagai sekelompok radikalis yang ingin selalu tampil dalam panggung sejarah. Mereka dikaitkan dengan pelengseran hingga pembunuhan para penguasa dan raja.
Baca Juga: Berasal dari Timur Tengah, Bagaimana Kucing Menaklukkan Dunia?
Baca Juga: Jalur Kereta Trans-Iran, Menghidupkan Kembali Pariwisata Usai Isolasi
Baca Juga: Siapakah Wanita Bertubuh Ular dalam Legenda Timur Tengah Shahmaran?
Baca Juga: Batu Raksasa Luar Angkasa Menghancurkan Kota Kuno di Timur Tengah
Namun, pada dasarnya gerakan ini hidup diantara bangsa Sasania yang merupakan sekelompok komunitas muslim.
"Tak satu pun dari gerakan utama Khurramisme ini adalah restorasionis. Artinya tidak satupun dari mereka berusaha untuk membongkar kekhalifahan atau untuk mengakhiri Islam," pungkasnya.
Komunitas ini mulai menghilang dan tenggelam pasca pertempuran dengan Abbasiyyah. Pertempuran yang dimenangkan Abbasiyah itu menyebabkan ribuan Khurramis melarikan diri ke Byzantium.
Di Byzantium, mereka disambut oleh Kaisar Theophilos, dan mereka bergabung dengan tentara Bizantium di bawah pemimpin Iran mereka, Theophobos.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | Medievalists |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR