Nationalgeographic.co.id - Kali ini Pelajaran Perjalanan Didi Kaspi Kasim dan Marshall Sastra bersama Toyota Rush hampir purna. Perjalanan kali ini, mereka mengunjungi beberapa tempat di ujung timur Pulau Jawa yang lestari.
Setelah sebelumnya menyusuri De Djawatan Forest, mereka bergerak ke utara melewati lereng Gunung Ijen. Di Paltuding, mobil Toyota New Rush GR Sport berwarna putih yang dikendarai mereka bermanuver dengan baik di tikungan. Sampai akhirnya, tibalah mereka di Taman Nasional Baluran, Situbondo, yang dijuluki Afrika kecil di Pulau Jawa.
Baluran adalah salah satu Taman Nasional tertua, tidak hanya di Pulau Jawa tetapi juga seluruh Indonesia. Pada 1912, beberapa ahli botani, hewan, dan perlindungan alam tergabung dalam Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming atau Asosiasi Perlindungan Alam Hindia Belanda. Sijfert Hendrik Koorders adalah pendiri dan pemimpin asosiasi itu selama tujuh tahun. Asosiasi ini mendorong pihak pemerintah koloni untuk membentuk Undang-undang Cagar Alam 1916.
Setelah UU itu diterbitkan, penunjukan lokasi kawasan pelestarian dilakukan, salah satunya oleh Direktur Kebun Raya Bogor K.W Dammerman pada Baluran. 1937, Taman Nasional Baluran pun mendapatkan legalnya sebagai Suaka Margasatwa dengan luas 25.000 hektare.
Baca Juga: Pembentukan Cagar Alam Semasa Hindia Belanda oleh S.H. Koorders
Baca Juga: Hasil Kajian: Jumlah Turis ke Taman Nasional Komodo Perlu Dibatasi
Baca Juga: Rentannya Pari Manta Taman Nasional Komodo karena Terbuai Pariwisata
Baca Juga: Mengukur 38 Tahun Perubahan Gletser di Taman Nasional Alaska
SK Menteri KLHK tahun 2021 mengubah luasnya jadi 29.739 hektare. "Ada perhitungan dengan teknologi yang lebih rinci," kata Endarto Kepala Bagian Tata Usaha Taman Nasional Baluran. "Luasnya Baluran itu sampai di sisi kiri dan hutan jati di dekat jalan besar. Awalnya hutan jati itu kebun, tetapi setelah dikaji ternyata sudah sejak lama itu adalah hutan alami."
Selain jadi kawasan konservasi untuk flora dan fauna, Baluran juga menyediakan wisata di beberapa lokasi seperti Sabana Bekol, Pantai Bama, dan Pantai Batu Hitam. Didi dan Marshall berkeliling menuju lokasi yang dilalui jalan Taman Nasional.
"Sudah berubah ya. Dulu ini jalan rusak," kata Didi. Jalanan di Taman Nasional dulu rusak, membuat perjalanan dari pintu masuk ke Sabana Bekol bisa dua hingga tiga jam. Karena ada tujuan wisata sebagai pengenalan konservasi, jalanan diaspal.
Membuka Taman Nasional sebagai tempat wisata membawa masalah bagi konservasi. Banyak wisatawan datang membuat lingkungan jadi kotor akan sampah yang dibuang sembarangan. Sampah yang dibawa terkadang berisi makanan, sehingga monyet di Taman Nasional terbiasa mencari makanan dari sisa-sisa pengunjung.
Ada banyak jenis satwa yang tinggal di sini selain monyet. Di sini ada kerbau, hutan, ajag, kijang, macan tutul, kancil, kucing bakau, dan ratusan spesies burung. Mereka hidup tersebar di Taman Nasional Baluran. Macan tutul si karnivora itu jauh dari titik kunjungan wisatawan. Dia berada di lereng Gunung Baluran yang kaya dengan sumber air dan makanan untuk bertahan hidup.
Kebiasaan buruk semakin parah oleh pengunjung yang memberi makanan kepada satwa. Akhirnya, satwa mengalami perubahan perilaku dengan meminta makanan pada manusia. Semestinya, di lingkungan liar seperti ini, satwa harus berperilaku sebagaimana dirinya di alam bebas. Inilah yang membuat nantinya Taman Nasional Baluran akan menjadi wisata minat khusus.
Karena bergantung kepada manusia, satwa seperti monyet pun kerap merampas makanan dari kantong plastik yang dibawa pengunjung. Sering pula mereka mengambil makanan dari tempat sampah. Kini tempat sampah ditiadakan sementara agar tidak dikerumuni monyet.
Sebagai solusinya, Taman Nasional Baluran bermitra dengan warga sekitar. "Kami tidak bisa bekerja sendirian. Taman Nasional ini harus dijaga dengan melibatkan masyarakat sekitarnya. Mereka punya kesadaran akan lingkungan di kawasan mereka sendiri," terang Endarto.
Salah satunya adalah Kasman. Dia adalah petugas pembersih sekaligus mengamankan parkir di Taman Nasional Baluran. Dia menjadi mitra Taman Nasional Baluran sejak 2018, dan pernah terlibat di sini beberapa kali sebelumnya.
Kasman punya tim yang terdiri dari 12 orang. Setiap harinya ada tiga orang yang turun ke lapangan untuk membersihkan Taman Nasional Baluran dan merapikan parkiran. Mereka biasanya menggunakan motor untuk berkeliling memantau sampah, tetapi terkadang Kasman memilih berjalan kaki.
"Saya sudah mulai sakit-sakitan. Saya memilih jalan kaki biar bisa bergerak. Hitung-hitung saya kerja—cari berkah, sambil olahraga," ujarnya sambil tertawa. "Saya bisa jalan kaki 12 kilometer dari pagi sampai sore buat memungut sampah. Jalan kaki dari depan (tempat masuk Taman Nasional) sampai Sabana Bekol."
Sekarang, dia punya rencana efektif untuk membersihkan lingkungan Taman Nasional Baluran. Dia punya ide yang sedang dirancang untuk membuat tempat sampah dari besi. Tempat sampah itu memiliki penutup yang bisa berputar, sehingga monyet yang hendak mengambil sampah kesulitan atau terjebak di dalamnya. Setelah itu, pemungut sampah akan mengeluarkannya dari pintu samping tempat sampah.
"Ide ini udah saya terapkan di Pantai Bama," jelasnya. "Ide ini disambut sama orang kehutanan juga di Maluku saat ketemu dengan saya. Mungkin nanti bisa dipakai lebih mantap di sini."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR