Nationalgeographic.co.id—Perang Dunia Kedua merupakan perang paling brutal dan mematikan. Melibatkan lebih dari 100 juta pasukan militer, pertempuran ini juga dikenal sebagai perang terluas dalam sejarah. Indonesia, meskipun tidak terlibat dalam perang global itu, sebagian wilayahnya turut menjadi medan pertempuran. Salah satunya adalah Balikpapan, Kalimantan Timur.
Balikpapan merupakan medan pertempuran terakhir di kawasan Pasifik. Jejaknya dapat kita lihat di Tugu Australia yang menjulang di Jalan Sudirman, tepat di depan Lapangan Merdeka. Tugu ini didirikan oleh pemerintah Australia untuk mengenang para serdadu yang tewas dalam Pertempuran Balikpapan, Juli 1945.
Pada minggu-minggu awal Perang Pasifik, Jepang dengan cepat menaklukkan Kalimantan. Sejak 1942, pasukan negeri matahari terbit telah bercokol di Balikpapan, wilayah strategis yang kaya simpanan minyak bumi. Keuntungan sumber daya itu dimanfaatkan Jepang untuk memenuhi kebutuhan perang selama Perang Dunia Kedua berkecamuk.
Operasi OBOE dan Penyerbuan Balikpapan
Australia kemudian melancarkan operasi militer selama 1 Mei hingga 30 Agustus 1945 untuk membebaskan Kalimantan dari pendudukan Jepang. Nama sandi militernya adalah OBOE, serangkaian serangan amfibi antara 1 Mei dan 21 Juli oleh Korps I Australia, di bawah Letnan Jenderal Leslie Morshead.
Operasi ini mencapai puncaknya dalam OBOE DUA, yaitu serangan amfibi di Balikpapan yang sekaligus operasi Sekutu skala besar terakhir dalam Perang Dunia Kedua. Menurut Australian War Memorial, Divisi Ketujuh Australia mendarat di pagi hari tanggal 1 Juli 1945. Ini adalah pertama kalinya divisi itu bertempur secara keseluruhan.
Dalam laporan situs Royal Australian Navy, militer Australia mengerahkan lebih dari 33.000 personel untuk melawan Jepang. Pasukan dalam serangan itu termasuk lebih dari 21.000 orang dari Divisi Ketujuh Australia dan 2.000 personel Angkatan Udara Kerajaan Australia (RAAF). Sementara di pihak Sekutu terdiri dari 2.000 orang Amerika Serikat dan unit Hindia Belanda.
Operasi dimulai dengan pengeboman laut Balikpapan dan melenyapkan pertahanan pantai Jepang. Ketika itu, Balikpapan dipertahankan oleh sekitar 5.000 kekuatan gabungan Jepang. Mereka terdiri dari 2.000 tentara Jepang reguler dan sekitar 3.000 penduduk lokal wajib militer. Kisah singkat penyerbuan Balikpapan dapat kita simak di plakat tembaga di depan Tugu Australia dengan tajuk “Balikpapan and Australia 1945”.
“Pemboman pendahuluan selama 20 hari dari pihak Sekutu telah menghancurkan pantai pihak Jepang dan dengan demikian pada waktu senja, pasukan Australia telah dapat maju dua kilometer ke arah pedalaman,” demikian kisah dalam plakat itu.
Balikpapan baru terbebaskan pada keesokan harinya. Akan tetapi, kedua lapangan terbang di sebelah timur baru dikuasai pada 9 Juli. Setelah itu, pertempuran masih berlanjut selama lebih dari dua minggu di sebelah utara dan barat. Di sana, mereka menghadapi perlawanan sengit dari pasukan Jepang yang berlindung dalam parit.
Setelah serangkaian operasi militer, pertempuran antara pasukan Australia dengan Jepang berakhir pada 14 Agustus 1945. Operasi OBOE 2 mengakibatkan sebanyak 229 serdadu dari Divisi Ketujuh Australia tewas saat membebaskan Balikpapan. Sementara di pihak Jepang, sebanyak 2.032 serdadu tewas dan 64 lainnya ditangkap sebagai tawanan perang.
OBOE 2, Salah Satu Operasi Kontroversial Australia
OBOE 2 merupakan kisah sukses amfibi Australia selama Perang Dunia Kedua. Namun, operasi ini sekaligus menjadi salah satu operasi yang kontroversial. Menurut Australian War Memorial, banyak perwira tinggi yang menganggap bahwa penyerbuan ini tidak sehat secara strategis.
Australia bersama Sekutu awalnya memiliki enam operasi OBOE untuk melawan Jepang. Target penyerbuannya adalah Tarakan (OBOE 1), Balikpapan (OBOE 2), Banjarmasin (OBOE 3), Surabaya dan Batavia (OBOE 4), kawasan Hindia Belanda di timur (OBOE 5), dan Borneo Utara Britania, sekarang Sabah (OBOE 6). Akan tetapi, hanya tiga operasi OBOE yang akhirnya dilancarkan.
Dinukil dari situs Royal Australian Navy, serangan Sekutu yang semakin dekat ke Jepang menyebabkan OBOE tiga, empat, dan lima dibatalkan. Tiga pendaratan amfibi yang tersisa diberi nama sandi: OBOE satu, penyerbuan Tarakan; OBOE enam, penyerbuan Borneo utara di Labuan dan Brunei; dan OBOE dua, penyerbuan Balikpapan.
Tiga wilayah itu dipilih demi kepentingan aset strategis dan keuntungan bagi Sekutu. Namun, serangan ke Balikpapan (OBOE dua), mendapat pertentangan dari Panglima Tertinggi Australia, Jenderal Thomas A. Blamey. Ia melihat tidak ada pembenaran untuk menyerang Balikpapan.
Australian War Memorial melaporkan, Blamey kemudian menyarankan pemerintah Australia untuk menarik dukungannya terhadap OBOE 2. Namun, Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Wilayah Pasifik Barat Daya, yang telah merancang operasi OBOE, memutuskan penyerbuan ke Balikpapan tetap dilanjutkan.
Tugu Australia dan Kisah Hubungan Baik Indonesia-Australia
Setelah operasi OBOE 2 selesai, pemerintah Australia mendirikan tugu peringatan Australian Imperial Force (AIF) untuk mengenang para serdadu yang tewas saat pembebasan Balikpapan. Warga menyebutnya dengan "Tugu Australia". Bangunannya menjulang dengan pedang logam di atasnya. Kini, pedang itu telah lenyap, diganti dengan lukisan pedang berwarna hitam.
Baca Juga: Nyaris Terlupakan, Balikpapan Menandai Pertempuran Akbar Penutup PD II
Baca Juga: 'Kapal-Kapal Hantu' Perang Dunia II Muncul di Pasifik Setelah Erupsi
Baca Juga: Karena Berhasrat Menjajah Kembali, Belanda Dipojokkan Sekutu dan Dunia
Pada 1998, di bagian depan tugu dibangun plakat tembaga yang memaparkan kisah singkat Penyerbuan Balikpapan 1945. Ross J. Bastian memahatnya dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Paragraf terakhirnya mengisahkan hubungan baik Indonesia dan Australia setelah perang. Berdiri sebagai negara yang bertetangga, keduanya meningkatkan pertukaran di bidang kebudayaan, pendidikan, dan ekonomi.
“Kedua negara tersebut sekarang hidup dengan damai dan rakyatnya akan selalu mengingat mereka yang telah mengorbankan jiwanya untuk mencapai tujuan tersebut,” demikian narasi akhir dalam plakat.
Kisah kemudian ditutup dengan kata “Lest We Forget”. Menukil laman Anzac Portal, frasa itu dipinjam dari sebuah baris dalam puisi terkenal karya Rudyard Kipling yang ditulis pada abad ke-19. Warga Australia mengucapkan atau menuliskannya dalam peringatan untuk mengingat jasa dan pengorbanan orang-orang yang telah berjasa dalam perang, konflik, dan operasi penjaga perdamaian.
Source | : | Royal Australian Navy,Australian War Memorial |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR