Nationalgeographic.co.id—Selama Perang Dunia Kedua, Belanda dapat dengan mudah dikuasai Nazi Jerman, dan membuat pihak kerajaan harus mengungsi ke Inggris. Kondisi ini membuat Belanda berhutang budi atas jasa Inggris sebagai sekutunya yang mau menampung pemerintahan.
Kebaikan itu bukan sembarang tanpa pamrih karena politik tidak kenal kata teman, melainkan kepentingan. Setidaknya itulah yang digambarkan oleh Emma Kaizer, sejarawan hubungan international dari NIOD bersama rekan-rekannya lewat buku Diplomatie en geweld, De internationale context van de Indonesische onafhankelijkheidsoorlog, 1945-1949.
Setelah Perang Dunia Kedua usai, Belanda harus memulihkan rumah tangga mereka dengan kesepakatan dengan negara-negara sekutu, termasuk masuk ke dalam NATO pada 1949. Pemulihan ekonomi pasca Perang Dunia Kedua diikuti dengan ambisi Belanda untuk mengambil kembali koloninya yang merdeka secara sepihak, Indonesia.
Pada 1947, Belanda masih 'ngotot' untuk merebut kembali jajahannya. Kaizer menjelaskan, pasukan Belanda di Indonesia sebagian besar dilengkapi senjata dan kendaraan buatan Inggris, dan penerbangan militer KNIL serta brigade marinirnya dibantu AS.
Sikap ini dinilai merupakan pelanggaran Belanda dengan negara-negara Sekutu dan mendapatkan kritik. Inggris dan Amerika akhirnya menyatakan boikot terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda, bukan Belanda. Belum lagi, AS memang dikenal sebagai negara yang sebenarnya mentang kolonial.
Namun, alasan mengapa Hindia Belanda bukan Kerajaan Belanda yang diboikot, Kaizen menyebutkan, AS memandangnya sebagai sekutu berharga di Eropa untuk Perang Dingin yang baru dimulai. Sementara, Inggris punya kepentingan di Asia untuk menjaga koloninya di India dan Malaysia, sehingga tidak memboikot langsung Belanda.
Mahalnya kebutuhan militer Belanda juga menjadi pertimbangan bagi negara-negara Barat, agar sebaiknya persediaan militer dipindahkan ke Belanda, bukan ke Indonesia.
Padahal, pasca Perang Dunia II, AS mengadakan Marshall Plan yang merupakan sumbangan kemanusiaan untuk membangun kembali negara-negara Sekutu yang hancur akibat perang. Di sinilah Belanda terjepit, mereka mendapatkan bantuan dengan syarat tidak digunakan untuk menyerang Indonesia.
"Amerika Serikat tidak memberikan bantuan Marshall ke Eropa Barat semata-mata karena alasan kemanusiaan. Bantuan juga, mungkin bahkan sebagian besar, diberikan untuk melayani tujuan ekonomi dan politik Amerika Serikat," tulis Pierre van der Eng, seorang peneliti ekonomi sejarah Asia dari Australian National University di Journal of Southeast Asian Studies.
Dalam studi yang berkaitan dengan program bantuan Marshall, penangguhan bantuan kepada koloni Belanda di Indonesia, dan ancaman yang tampak untuk menghentikan aliran dolar ke Belanda, telah digunakan sebagai contoh untuk membuktikan bahwa program tersebut adalah instrumen Amerika kekuatan politik.
Tom van den Berge, salah satu penulis dari KITLV menyebut, Menlu AS George C. Marshall menetapkan kebijakannya tentang konflik dalam sebuah memorandum kedutaan AS di Den Haag tahun 1947. Marshall menimbang, gerakan nasionalisme di Asia Tenggara sebenarnya merupakan masalah strategis bagi kolonialisme Eropa dan AS.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR