Baca Juga: Anak Muda Indonesia Punya Segudang Inovasi untuk Karbon Netral
Gerakan yang juga dikenal sebagai Friday For Futures itu bermula pada 2018. Saat itu Greta Thunberg yang masih berusia 15 tahun berunjuk rasa di depan gedung parlemen Swedia.
Thunberg membawa spanduk bertuliskan “Mogok sekolah demi iklim”. Aksi itu menginspirasi anak-anak muda di berbagai belahan dunia lainnya untuk menggelar aksi serupa.
Aksi Global Climate Strike pada 2019 diikuti oleh lebih dari 6 juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia, aksi serupa juga telah dilakukan beberapa kali.
Hasil riset menunjukkan bahwa generasi muda di Indonesia memang terbukti lebih peduli isu lingkungan dan memiliki literasi perubahan iklim yang memadai ketimbang generasi tua. Kajian awal pada 2020 di Indonesia menemukan dari 110 responden Generasi Z yang disurvei, lebih dari 80% punya kesadaran iklim tinggi.
"Selain itu, aktivisme iklim di Indonesia juga terlihat meningkat, meski masih relatif sepi dibanding negara-negara maju," tulis Aulia Nastiti dan Geger Riyanto di The Conversation Indonesia.
Aulia dan Geger, dua peneliti yang masing-masing sedang melanjutkan studi PhD di Amerika Serikat dan Jerman, pernah melakukan survei terhadap 612 anak muda usia 16-30 tahun dan focus group discussion (FGD) dengan aktivis lingkungan terkait partisipasi anak muda dalam gerakan iklim.
Riset ini mengonfirmasi tren positif bahwa anak muda tidak hanya sadar iklim, tetapi juga bertindak untuk mitigasinya. Mereka menemukan partisipasi anak muda dilakukan lewat dua jalan.
Jalan pertama, dan yang paling dominan, adalah lewat konsumsi ramah lingkungan. Ini merupakan aksi individu untuk mempertimbangkan dampak pola konsumsi mereka bagi lingkungan. Partisipasi ini merupakan wujud kuasa individu sebagai konsumen untuk mendorong perubahan lewat intervensi ke pasar.
Hasil survei mereka menunjukkan rata-rata 70% responden telah berpartisipasi dalam berbagai praktik konsumsi ramah lingkungan, terutama mengurangi konsumsi energi dan sampah, serta memilih produk ramah lingkungan. Rata-rata responden pun telah melakukannya secara rutin.
Temuan ini tidak mengherankan karena jalan partisipasi ini lebih rendah risikonya dan dapat dilakukan lewat tindakan keseharian.
Jalan kedua, aktivisme lingkungan, merupakan aksi kolektif di ruang publik yang sifatnya menuntut perubahan kebijakan. Partisipasi ini menyasar pejabat atau institusi pemerintah, dan berangkat dari kuasa individu sebagai warga untuk mendorong perubahan lewat intervensi ke negara.
Source | : | The Conversation Indonesia,BBC Indonesia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR