Nationalgeographic.co.id - Anak-anak muda menggelar Aksi Jeda untuk Iklim Global (Global Climate Strike) secara serentak di belasan kota di Indonesia pada 23 September lalu. Aksi serupa juga digelar di berbagai kota di dunia untuk mendesak para pemimpin menyatakan darurat iklim dan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat yang bakal paling terdampak oleh perubahan iklim.
Salah satu peserta aksi di Jakarta, Rafaela Xaviera, 23 tahun, mengaku cemas setiap kali membayangkan seperti apa kehidupannya di masa depan di tengah ancaman krisis iklim.
Tanda-tanda perubahan iklim yang telah dia rasakan antara lain kondisi cuaca ekstrem yang kerap memicu bencana alam seperti banjir hingga kenaikan harga pangan. Belum lagi kualitas udara buruk yang sehari-hari dia hirup sebagai imbas kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada lingkungan.
“Ini bikin khawatir, di masa depan kami [generasi muda] mau gimana, Jakarta kan disebut akan tenggelam, terus nanti mau tinggal dimana? Harga pangan juga naik, gagal panen duluan karena faktor cuaca. Kalau krisis pangan, nanti kita mau makan apa?” kata Rafaela seperti dikutip dari BBC Indonesia.
Pada akhir 2021 Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyatakan harga pangan global naik lebih dari 30% dibanding tahun sebelumnya. Harga ini mencapai level tertinggi dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Tak hanya oleh Rafaela, kecemasan juga dialami oleh banyak anak muda lainnya di Indonesia. Survei Indonesians & Climate Change yang diadakan oleh Purpose Climate Lab menunjukkan 89% responden “sangat khawatir” akan dampak perubahan iklim.
“Kalau kami generasi muda aja sudah terdampak, generasi setelah kami akan lebih parah lagi, dan itu sangat enggak adil. Waktu kecil aku bisa merasakan hidup yang lebih baik, makanan ada, air ada, udara lebih bersih, anak-anak yang baru lahir ke depannya gimana?” tutur Rafaela.
Aksi dan ucapan Rafaela mirip dengan apa yang dilakukan oleh Greta Thunberg. Remaja perempuan dari Swedia itu melakukan protes dan advokasi perubahan iklim di forum-forum dunia.
Thunberg menyentak dunia dengan pernyataan-pernyataannya yang tajam, singkat, dan langsung menghujam ke inti persoalan: keadilan iklim. Ia marah karena generasinya pada dekade mendatang memperoleh ketidakadilan iklim akibat ulah generasi sekarang.
Aksi Jeda untuk Iklim Global atau Global Climate Strike yang kini rutin dihelat secara serentak di berbagai kota dunia itu juga terinspirasi dari aksi Thunberg. Seperti yang dilakukan Thunberg, Aksi Jeda untuk Iklim Global memiliki tujuan untuk menyuarakan persoalan-persoalan terkait perubahan iklim.
Baca Juga: Transisi Energi adalah Kunci Mengatasi Krisis Energi dan Krisis Iklim
Baca Juga: Aksi Seru Bahas Bumi dan Netralitas Karbon: Anak Muda Bisa Apa?
Baca Juga: Anak Muda Indonesia Punya Segudang Inovasi untuk Karbon Netral
Gerakan yang juga dikenal sebagai Friday For Futures itu bermula pada 2018. Saat itu Greta Thunberg yang masih berusia 15 tahun berunjuk rasa di depan gedung parlemen Swedia.
Thunberg membawa spanduk bertuliskan “Mogok sekolah demi iklim”. Aksi itu menginspirasi anak-anak muda di berbagai belahan dunia lainnya untuk menggelar aksi serupa.
Aksi Global Climate Strike pada 2019 diikuti oleh lebih dari 6 juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia, aksi serupa juga telah dilakukan beberapa kali.
Hasil riset menunjukkan bahwa generasi muda di Indonesia memang terbukti lebih peduli isu lingkungan dan memiliki literasi perubahan iklim yang memadai ketimbang generasi tua. Kajian awal pada 2020 di Indonesia menemukan dari 110 responden Generasi Z yang disurvei, lebih dari 80% punya kesadaran iklim tinggi.
"Selain itu, aktivisme iklim di Indonesia juga terlihat meningkat, meski masih relatif sepi dibanding negara-negara maju," tulis Aulia Nastiti dan Geger Riyanto di The Conversation Indonesia.
Aulia dan Geger, dua peneliti yang masing-masing sedang melanjutkan studi PhD di Amerika Serikat dan Jerman, pernah melakukan survei terhadap 612 anak muda usia 16-30 tahun dan focus group discussion (FGD) dengan aktivis lingkungan terkait partisipasi anak muda dalam gerakan iklim.
Riset ini mengonfirmasi tren positif bahwa anak muda tidak hanya sadar iklim, tetapi juga bertindak untuk mitigasinya. Mereka menemukan partisipasi anak muda dilakukan lewat dua jalan.
Jalan pertama, dan yang paling dominan, adalah lewat konsumsi ramah lingkungan. Ini merupakan aksi individu untuk mempertimbangkan dampak pola konsumsi mereka bagi lingkungan. Partisipasi ini merupakan wujud kuasa individu sebagai konsumen untuk mendorong perubahan lewat intervensi ke pasar.
Hasil survei mereka menunjukkan rata-rata 70% responden telah berpartisipasi dalam berbagai praktik konsumsi ramah lingkungan, terutama mengurangi konsumsi energi dan sampah, serta memilih produk ramah lingkungan. Rata-rata responden pun telah melakukannya secara rutin.
Temuan ini tidak mengherankan karena jalan partisipasi ini lebih rendah risikonya dan dapat dilakukan lewat tindakan keseharian.
Jalan kedua, aktivisme lingkungan, merupakan aksi kolektif di ruang publik yang sifatnya menuntut perubahan kebijakan. Partisipasi ini menyasar pejabat atau institusi pemerintah, dan berangkat dari kuasa individu sebagai warga untuk mendorong perubahan lewat intervensi ke negara.
Survei mereka menunjukkan bahwa partisipasi melalui aktivisme lingkungan telah dilakukan lebih dari 50% responden dalam bentuk mengikuti kampanye, menandatangani petisi, dan memberikan donasi. Dalam dua bentuk aktivisme lainnya (protes dan audiensi), partisipasi anak muda masih kurang dari 30%. Namun, setidaknya sekitar 40% menyatakan kesediaan melakukannya di masa depan.
Yang perlu dicermati, komitmen generasi muda untuk berpartisipasi ternyata lebih banyak direalisasikan lewat jalan konsumsi ramah lingkungan, ketimbang aktivisme lingkungan. Meski pola konsumsi ramah lingkungan itu penting, studi telah menunjukkan bahwa ini kurang berdampak dalam mendorong komitmen pemerintah mengatasi krisis iklim.
Apa yang dilakukan Rafaela dan Thunberg adalah contoh dari gerakan aktivisme. Contoh gerakan aktivisme yang berhasil di Indonesia adalah Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik yang kampanye dan petisinya berhasil mendorong penerapan aturan kantong plastik berbayar dalam peraturan daerah.
Kedua jalan partisipasi iklim di atas baik. Menekuni salah satu jalan tersebut tentu baik, tetapi melakukan keduanya jelas jauh lebih baik dan bakal lebih berdampak.
#SayaPilihBumi, gerakan sosial yang digagas National Geographic Indonesia sejak 2018, konsisten membahas gerakan perubahan sehari-hari untuk Bumi yang lebih lestari. Tahun ini #SayaPilihBumiFestival akan digelar pada 2022 ini. Festival ini bakal kembali mengangkat isu-isu lingkungan lewat media dan perbincangan yang lebih ringan, santai, dan menyenangkan. Dari gelar wicara, berbagi cerita inspirasi, kolaborasi komunitas dalam pelestarian bumi, sampai konser musik.
Source | : | The Conversation Indonesia,BBC Indonesia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR