Nationalgeographic.co.id—Tak hanya di zaman modern, praktik homoseksualitas ternyata juga terjadi di era Romawi kuno. Namun, praktik ini tidak sesederhana pertanyaan "gay versus straight."
Di zaman modern saat ini, kebanyakan praktik homoseksualitas terjadi karena mau sama mau atau suka sama suka, selain tentunya ada juga kasus pelecehan dan pemerkosaan. Sebaliknya, homoseksualitas di Romawi kuno adalah perspektif budaya yang jauh lebih kompleks. Di Romawi, persetujuan ataupun ketidaksetujuan aktivitas seksual didasarkan pada status sosial orang-orangnya.
Masyarakat Romawi kuno sangat patriarkal. Untuk para pria, penentuan maskulinitas secara langsung terkait dengan konsep Romawi tentang virtus. Ini adalah salah satu dari beberapa cita-cita yang coba diikuti oleh semua orang Romawi yang lahir bebas.
Patti Winginton, lulusan sejarah dari Ohio University, pernah menulis bahwa virtus adalah personifikasi yang sebagiannya adalah tentang kebajikan. "Tapi ini juga berarti tentang disiplin diri dan kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan orang lain. Untuk melangkah lebih jauh, peran aktif imperialisme dan penaklukan yang ditemukan di Romawi kuno sering dibahas dalam istilah metafora seksual," tulisnya di ThoughtCo.
"Karena maskulinitas didasarkan pada kemampuan seseorang untuk menaklukkan, aktivitas homoseksual dipandang dari segi dominasi. Seorang pria yang mengambil peran yang dianggap dominan, atau penetratif, akan berada di bawah pengawasan publik yang jauh lebih sedikit daripada pria yang sedang dipenetrasi, atau 'tunduk'," tulis Winginton.
"Bagi orang-orang Romawi, tindakan "ditaklukkan" menyiratkan bahwa seseorang lemah dan bersedia menyerahkan kebebasannya sebagai warga negara yang bebas. Ini juga mempertanyakan integritas seksualnya secara keseluruhan."
Elizabeth Cytko pernah menulis, "Otonomi tubuh adalah salah satu norma pengaturan seks yang membantu menentukan status seseorang dalam masyarakat ... seorang pria Romawi elite menunjukkan statusnya karena dia tidak dibolehkan untuk dikalahkan, atau dipenetrasi."
Menariknya, orang-orang Romawi tidak memiliki kata-kata khusus yang berarti homoseksual atau heteroseksual. Bukan jenis kelamin yang menentukan apakah pasangan seksual dapat diterima, melainkan status sosial mereka.
Baca Juga: Beda Praktik Perkawinan Sedarah di Era Yunani Kuno dan Romawi Kuno
Baca Juga: Apa Perbedaan antara Kehidupan Romawi Kuno dengan Yunani Kuno?
Baca Juga: Tujuh Penemuan Romawi Kuno: Inovasi yang Berguna hingga Sekarang
Di Romawi, ada Sensor Romawi, yakni komite pejabat yang menentukan keluarga seseorang layak masuk dalam hierarki sosial mana, dan kadang-kadang mengeluarkan individu dari peringkat atas masyarakat karena pelanggaran seksual. Sekali lagi, ini lebih didasarkan pada status sosial ketimbang gender.
Secara umum, hubungan sesama jenis di antara pasangan dari status sosial yang sesuai dianggap normal dan dapat diterima di Romawi. Laki-laki Romawi yang lahir bebas dibolehkan untuk tertarik pada seks dengan pasangan dari kedua jenis kelamin. Bahkan setelah menikah, seorang pria Romawi mungkin terus mempertahankan hubungan dengan pasangan selain pasangannya.
Namun, selain dengan pasangannya, dia hanya boleh berhubungan seks dengan pelacur, orang yang diperbudak, atau mereka yang dianggap infamia. Infamia adalah status sosial yang lebih rendah yang diberikan oleh Sensor Romawi kepada individu yang status hukum dan sosialnya telah dikurangi atau dihapus secara resmi.
Kelompok infamia ini juga termasuk penghibur seperti gladiator dan aktor. Seorang infamia tidak dapat memberikan kesaksian dalam proses hukum, dan dapat dikenakan hukuman fisik yang sama yang biasanya diberikan kepada orang-orang yang diperbudak.
Pakar sejarah kuno N.S. Gill menunjukkan bahwa, "Alih-alih orientasi gender hari ini, seksualitas Romawi kuno dapat dikotomiskan sebagai pasif dan aktif. Kecenderungan perilaku sosial laki-laki adalah aktif; sedangkan bagian pasif disejajarkan dengan perempuan."
Meski seorang pria Romawi bebas dibolehkan untuk berhubungan seks dengan orang-orang yang diperbudak, pelacur, dan infamia, baik pria maupun wanita, itu hanya dapat diterima jika ia mengambil peran dominan, atau penetrasi. Jadi dia tidak boleh dalam posisi dipenetrasi saat berhubungan seks dengan budak, pelacur, dan infamia.
Dia juga tidak dibolehkan untuk berhubungan seks dengan laki-laki Romawi yang lahir bebas lainnya, atau dengan istri atau anak-anak dari laki-laki bebas lainnya. Selain itu, dia tidak bisa berhubungan seks dengan orang yang diperbudak tanpa izin si pemilik budak.
Meskipun tidak didokumentasikan secara luas, ada hubungan romantis homoseksual antara pria-pria Romawi. Kebanyakan sarjana setuju bahwa hubungan seks yang sama antara laki-laki dari kelas yang sama ada. Namun, karena ada begitu banyak konstruksi sosial kaku yang diterapkan pada hubungan semacam itu, hubungan mereka dirahasiakan.
Meskipun pernikahan sesama jenis tidak dibolehkan secara hukum, ada tulisan yang menunjukkan bahwa beberapa pria memang berpartisipasi dalam "upacara pernikahan" publik dengan pria lain. Sebagai contoh, Kaisar Nero melakukan ini setidaknya dua kali, seperti yang dilakukan kaisar Elagabalus.
Selain itu, pada satu titik selama perselisihan yang sedang berlangsung dengan Mark Antony, Cicero berusaha untuk mendiskreditkan lawannya dengan mengklaim Antony telah diberikan stola oleh pria lain. Stola adalah pakaian tradisional yang dikenakan oleh wanita yang sudah menikah
Apakah ada praktik homoseksualitas di antara wanita Romawi? Sejauh ini, hanya ada sedikit informasi yang tersedia tentang hubungan sesama jenis antara para wanita Romawi.
Meskipun hal itu mungkin terjadi, orang-orang Romawi tidak menulis tentang hal itu, karena bagi mereka, seks melibatkan penetrasi. Tampaknya orang-orang Romawi tidak menganggap tindakan seksual antara wanita sebagai seks yang sebenarnya, tidak seperti aktivitas penetrasi antara dua pria.
Source | : | ThoughtCo. |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR