Nationalgeographic.co.id—Belum pernah rakyat pribumi di Hindia Belanda menyaksikan film atau sinema. Sebuah grafis bergerak yang menggambarkan suatu adegan dan lanskap. Mereka menunggu-nunggu dibuatnya.
Film pertama di dunia pertama kali diluncurkan di Prancis pada tahun 1895 berjudul Lumière Cinematograph. Setelah sukses diputar di Grande Café Boulevard des Capucines, film perdana ini mulai tersebar ke seluruh dunia.
Memasuki awal abad ke-20, agaknya terjadi hal-hal yang ajaib dan menakjubkan. Rakyat pribumi di Hindia Belanda sedang menunggu desas-desus yang menggelinding deras tentang akan adanya pendirian bioskop. Hal ini dimulai setelah surat kabar Bintang Betawi merilis sebuah berita:
"De Nederlandsche-Indië Bioscope Maatschappij (Maatschappij Gambar Idoep), memberi tahoe bahoewa sedikit lagi hari ija nanti kasi lihat tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep dari banjak hal jang beloem lama telah kedjadian di Europa dan Afrika Selatan."
Heru Herwantoro menulis dalam jurnal Patanjala berjudul Bioskop Keliling Peranannya dalam Memasyarakatkan Film Nasional dari Masa ke Masa yang terbit pada tahun 2014. Dalam jurnalnya, Heru melansirkan dari Bintang Betawi tentang menakjubkannya pertunjukan film bioskop.
"Ini tontonan nanti dikasi lihat di dalam roemah disebelahnja Fabriek Kereta dari Maatschappij Fuchs di Tanah Abang. Hari moelainja tontonan ini, nanti dikasi taoe dilaen tempo," terusan berita dalam surat kabar Bintang Betawi terbitan 30 November 1900.
Desas-desus semakin kencang melihat adanya pemberitaan masuknya film pertama ke Hindia Belanda. Betapapun rakyat pribumi masih bertanya-tanya tentang seperti apa film yang nantinya akan ditayangkan. Sebuah pengalaman yang dinanti-nanti sejak lama.
Mulai dari "warung-warung kopi, pasar dan tempat berkumpulnya khalayak ramai, banyak yang membicarakan tentang keajaiban ini—disebut keajaiban karena belum pernah terjadi sebelumnya," imbuh Heru.
Mereka hanya bisa membayangkan betapa hebatnya sebuah alat yang mampu menangkap dan memunculkan kembali gambar bergerak yang bersuara. Benda-benda ajaib inilah yang mendorong rasa penasaran masyarakat dan membuat mereka tidak sabar menunggu.
Akhirnya, setelah lama menunggu desas-desus akan adanya penayangan film perdana, kini Bintang Betawi kembali melengkapi beritanya. Dalam surat kabar tertanggal 4 Desember 1900, Bintang Betawi memberitakan:
"Besok hari Rebo, 5 Desember 1900 PERTOENDJOKAN JANG BESAR PERTAMA didalem satoe roemah di Tanah Abang. Kebondjae (manage) moelai poekoel toejoe malem. Harga tempat klas satoe f2, harga tempat klas doewa f1 dan harga tempat klas tiga f0,5."
Baca Juga: Dari Gagasan Film Indonesia Pertama Sampai Nasionalisme Kemenyan
Baca Juga: Menciptakan Masyarakat Inklusif Bagi Kaum Difabel Lewat Film 'Tegar'
Baca Juga: Jasa Wiranatakusumah V Bagi Perfilman Pribumi di Zaman Hindia Belanda
Mulai ramai sejumlah warga mempersiapkan hari esok untuk menonton film, pertama kalinya di Hindia Belanda. Namun, kenyataannya, harga tiket yang tinggi, membuat banyak dari pribumi tak bisa ikut menyaksikannya. Bioskop hanya untuk keluarga kerajaan atau elit kaya lainnya.
Namun, pada kenyataannya pula, film pertama yang diputar tak banyak mendapat respon positif. Meskipun di awal-awal sempat membuat rakyat terhenyak, tapi kemudian ditinggalkan.
Film tersebut hanya berupa film dokumenter tanpa unsur cerita atau penokohan di dalamnya. Terkesan monoton, membuat sedikit demi sedikit warga mulai meninggalkan rumah tempat film itu diputar.
Hanya saja, beberapa bulan kemudian, film-film ala barat mulai menghiasi jagat perfilman dengan alur dan penokohan yang menarik. Nyatanya, film-film yang kita lihat hari ini, bermula dari masuknya film-film barat ke negeri ini sejak lama.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR