Maka, yang diperlukan adalah dominionisme. Konsep ini pertama kali disebutkan oleh ahli botani abad ke-18 dan taknsonomi modern Carl Linnaeus. Inti dari konsepnya, secara hierarki atau sistem kehidupan di Bumi, beberapa spesies punya kesamaan termasuk manusia. Misalnya, manusia (Homo sapiens) termasuk keluarga hominid, ordo primata, kelas mamalia, dan kerajaan hewan.
“Memiliki gagasan 'teoretis' tentang spesies bertentangan dengan sains dan pemerintahan,” tulis Wilkins di bukut itu. “Itu tidak diperlukan, karena mempertahankan sebagian besar asal-usul agama esensialistik aslinya dan menekankan keistimewaan manusia sehingga merugikan pengelolaan ekologis.”
Akan tetapi, apa yang dilakukan Linnaeus masih meletakkan Tuhan di puncak hierarki. Sementara, Charles Darwin meniadakan Tuhan, sehingga hierarki kehidupan setara dalam pohon kehidupan, yakni ujung setiap ranting mewakili makhluk hidup, dan cabang yang menopangnya adalah nenek moyang yang telah punah. Semua spesies pada dasarnya punya keterhubungan yang telah punah.
“Bukti menunjukkan bahwa spesies amoeba tidak memiliki arti yang sama dengan spesies jamur, hewan, atau apa pun,” jelas Swartz. “Dan jika spesies tidak nyata secara unik, lalu di manakah kita? Apakah ada sesuatu yang berarti hal yang sama di seberang pohon kehidupan? Jawaban atas pertanyaan itu adalah garis keturunan.
"Ini adalah cabang-cabang pohon kehidupan yang mempertahankan hubungan silsilah melintasi ruang dan waktu. Mereka termasuk anak-anak, atau keturunan, dan orang tua, atau leluhur mereka, melalui hewan secara luas dan kerabat jauh mereka. Silsilah adalah cabang-cabang di sepanjang pohon kehidupan.”
Dengan kata lain, manusia spesies yang berhubungan dalam membentuk jaringan ekologi, dan spesies lainnya layak dilindungi setara manusia. “Manusia memang penting, tapi kita hanyalah salah satu dari jutaan garis keturunan ini, yang semuanya memiliki kepentingan yang sama. Kita setidaknya harus berhati-hati ketika kita harus menghancurkan beberapa garis keturunan—yaitu memakan makhluk hidup lainnya—untuk hidup," ujar Mishler.
Baca Juga: Nenek Moyang Manusia Diyakini Berbulu, Mengapa Sekarang Tidak Sama?
Baca Juga: Semakin Kaya Ragam Hayati, Ekosistem Semakin Tahan Perubahan Iklim
Baca Juga: Populasi Manusia Capai 8 Miliar: Apa Artinya untuk Masa Depan Kita?
Baca Juga: Akibat Migrasi Manusia ke Madagaskar, Sebagian Spesies Unik Hilang
Oleh karenanya, memandang manusia adalah spesies superior dan eksklusif dibanding spesies lain, disebut sebagai spesiesisme dan mirip dengan rasialisme. Konsekuensi yang sama dengan memandang satu ras lebih unggul dari ras lain.
“Kita tahu lanskap ras dan rasisme, terutama ketika orang berpikir bahwa ras adalah cabang dari pohon kehidupan manusia, dan satu ras lebih unggul," tutur Swartz.
"Kesejajaran yang sama terjadi dengan spesies dan spesiesisme. Cara Anda memandang diri sendiri dan apa yang menurut Anda nyata akan memengaruhi perilaku Anda. Ini adalah realitas sejarah dan psikologis yang melandasi momen kita saat ini.”
Kisah Manuela Escobar Berusaha Menghilang dari Bayang-Bayang Buruk Pablo Escobar
Source | : | Eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR