Nationalgeographic.co.id—15 November 2022, populasi manusia di dunia genap delapan miliar. Bayi berjenis kelamin perempuan itu lahir di Manila, Filipina, bernama Vinice Mabansag, dan sekaligus menjadi pengingat untuk umat manusia lainnya di seluruh dunia bahwa planet kita sudah sangat padat.
Jumlah populasi yang semakin banyak, menjadi pengingat bahwa ada petaka yang menanti umat manusia. Seminggu sebelum kelahiran bayi kedelapan miliar itu, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menggambarkannya sebagai tonggak untuk "terobosan ilmiah dan peningkatan gizi, kesehatan masyarakat, dan sanitasi."
"Tetapi, ketika keluarga manusia kita tumbuh lebih besar, itu juga tumbuh lebih terpecah-pecah," terangnya di laman publikasi PBB. PBB juga memperkirakan dalam skenario medium, mungkin pada 2100 populasi manusia di dunia akan menyentuh sekitar 10,4 miliar.
Bagi planet Bumi, semakin banyak manusia bisa berarti sangat buruk. Sejak masa prasejarah, telah banyak spesies yang punah seiring dengan kehadiran manusia. Madagaskar misalnya, walau kini masih memiliki spesies unik, tetapi jumlahnya sangat sedikit akibat kepunahan yang disebabkan kedatangan manusia dari Asia sekitar 1.000 tahun silam.
Kita bisa melihat bagaimana bentang alam Bumi bisa berubah bukan secara alami, melainkan karena ulah manusia. Banyak sungai yang bentangnya berubah akibat aktivitas yang berhubungan manusia, yang menghasilkan kekeringan atau berubah bentuk.
Anda mungkin teringat juga bagaimana pegunungan di Papua mengalami perubahan signifikan dalam waktu kurang satu abad. Aktivitas pertambangan dibuka, sehingga pegunungan yang tinggi menjulang, berubah menjadi cekungan besar.
Tidak lupa pula, manusia menghasilkan emisi karbon yang besar. Suhu planet ini naik menjadi sekitar 1 derajat Celsius, lebih hangat dibandingkan masa awal revolusi industri di abad ke-18. Kenaikan itu dihasilkan dari emisi karbon dari teknologi yang diciptakan manusia.
Pada akhirnya, perubahan iklim tidak terelakkan dan membawa kepunahan bagi banyak satwa. World Wide Fund for Nature (WWF), lewat laporannya, mengatakan bahwa populasi satwa liar dunia telah menurun rata-rata 69 persen. Penyebab kepunahannya tidak hanya eksploitasi, tetapi perubahan iklim yang harus dihadapi mereka untuk beradaptasi.
Ahli ekonom Inggris abad ke-18 Thomas Malthus, bahkan menulis "kekuatan populasi manusia jauh lebih besar daripada kekuatan di bumi untuk menghasilkan penghidupan bagi manusia." Bumi sebagai penghasil sumber daya manusia, semakin rusak akibat manusia itu sendiri yang jumlahnya semakin berkembang. Ketakutan Malthus diamini banyak orang yang mewanti-wanti 'ledakan populasi' dunia.
Lagi-lagi, ledakan populasi bisa saja menjadi ancaman bagi manusia itu sendiri. Banyak ahli berpendapat bahwa populasi berlebih dapat berimbas pada kelaparan, dan malnutrisi yang menjangkiti banyak orang di negara-negara miskin.
"Setiap satu miliar lebih orang membuat hidup lebih sulit bagi semua orang — sesederhana itu," kata John Bongaarts, seorang peneliti demografi di Population Council, dikutip dari New York Times terkait populasi dunia yang melampaui 7 miliar pada 2011.
Source | : | Vox,sumber lain,WWF,United Nations |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR