Nationalgeographic.co.id—Pandai membuat sistem kehidupan, mengubah bentang alam, dan mengatur segala hal yang ada di atas muka Bumi, manusia mencapai status uniknya dalam sejarah Bumi. Kita menjadi makhluk yang terus mendominasi dan mengeksploitasi segala hal, termasuk organisme terkecil di planet Bumi untuk kepentingannya.
Manusia pun selalu menjadi rantai makanan tertinggi di alam, yang tentunya berbeda dengan nenek moyangnya lebih dari jutaan tahun silam. Sampai-sampai, manusialah yang mendorong perubahan iklim yang sangat ekstrem, sehingga memicu kepunahan berbagai organisme.
Akan tetapi, kita juga menyadari bahwa belakangan spesies manusia punya kesalahan dan membuatnya menjadi lazim. Manusia menganggap dirinya unik dan lebih unggul dari spesies lainnya di planet ini.
Para ilmuwan menyebut pandangan itu sebagai spesiesisme—kata analogi yang menyerupai rasialisme (rasisme) tetapi di tingkat antarspesies. Kita menganggap spesies lain lebih lemah, lebih mudah dikuasai, dan merasa tak berdosa jika dibantai.
“Orang-orang akhir-akhir ini sangat sadar betapa jahatnya bagi satu kelompok orang untuk berpikir bahwa mereka lebih unggul dari ras lain," kata Brent Mishler, profesor biologi integratif di University of California (UC) Berkeley, dikutip dari Eurekalert.
"Namun orang yang sama yang sangat sadar akan hal itu dengan senang hati mengatakan, manusia bertanggung jawab atas segalanya, jadi seluruh dunia adalah milik kita untuk digunakan sesuai keinginan kita."
Mishler menjadi salah satu editor di buku yang digarap bersama rekannya yang sama-sama di biologi integratif UC Berkeley Brian Swartz. Buku itu berjudul "Speciesism in Biology and Culture: How Human Exceptionalism is Pushing Planetary Boundaries", dan versi digitalnya bebas akses di Springer Link. Tulisan dalam buku ini dibuat oleh sekelompok ilmuwan dan filsuf yang menganggap ada kesalahan umum, memandang manusia sebagai spesies terhebat di planet Bumi.
"Cara saya menyampaikannya kepada mahasiswa-mahasiswa saya adalah seperti kita adalah keluarga besar dan beragam yang tinggal di rumah yang sama, yaitu Bumi, dan kita harus rukun. Bukan hanya keluarga manusia. Kita berbicara tentang segalanya—tumbuhan, hewan, dan bakteri. Apa yang satu menekankan yang lain,” lanjut Mishler.
Melalui buku ini, Mishler mengatakan, untuk mengubah pandangan manusia tentang definisi keluarga yang lebih luas. Kehidupan adalah keluarga kita. Maka, penting bagi manusia menciptakan rasa peduli pada keluarga di planet ini, termasuk mikroorganisme terkecil.
Selama ini manusia diajari oleh berbagai pembelajaran leluhur, termasuk kitab suci agama, bahwa manusia menguasai apa yang ada di seluruh permukaan Bumi. Filsuf sains John Wilkins dari University of Melbourne yang juga menulis di buku itu, berpendapat bahwa konsep spesiesisme diajarkan agama dan filsafat, dan bukan dari hasil pengungkapan ilmiah dan emperis.
Maka, yang diperlukan adalah dominionisme. Konsep ini pertama kali disebutkan oleh ahli botani abad ke-18 dan taknsonomi modern Carl Linnaeus. Inti dari konsepnya, secara hierarki atau sistem kehidupan di Bumi, beberapa spesies punya kesamaan termasuk manusia. Misalnya, manusia (Homo sapiens) termasuk keluarga hominid, ordo primata, kelas mamalia, dan kerajaan hewan.
“Memiliki gagasan 'teoretis' tentang spesies bertentangan dengan sains dan pemerintahan,” tulis Wilkins di bukut itu. “Itu tidak diperlukan, karena mempertahankan sebagian besar asal-usul agama esensialistik aslinya dan menekankan keistimewaan manusia sehingga merugikan pengelolaan ekologis.”
Akan tetapi, apa yang dilakukan Linnaeus masih meletakkan Tuhan di puncak hierarki. Sementara, Charles Darwin meniadakan Tuhan, sehingga hierarki kehidupan setara dalam pohon kehidupan, yakni ujung setiap ranting mewakili makhluk hidup, dan cabang yang menopangnya adalah nenek moyang yang telah punah. Semua spesies pada dasarnya punya keterhubungan yang telah punah.
“Bukti menunjukkan bahwa spesies amoeba tidak memiliki arti yang sama dengan spesies jamur, hewan, atau apa pun,” jelas Swartz. “Dan jika spesies tidak nyata secara unik, lalu di manakah kita? Apakah ada sesuatu yang berarti hal yang sama di seberang pohon kehidupan? Jawaban atas pertanyaan itu adalah garis keturunan.
"Ini adalah cabang-cabang pohon kehidupan yang mempertahankan hubungan silsilah melintasi ruang dan waktu. Mereka termasuk anak-anak, atau keturunan, dan orang tua, atau leluhur mereka, melalui hewan secara luas dan kerabat jauh mereka. Silsilah adalah cabang-cabang di sepanjang pohon kehidupan.”
Dengan kata lain, manusia spesies yang berhubungan dalam membentuk jaringan ekologi, dan spesies lainnya layak dilindungi setara manusia. “Manusia memang penting, tapi kita hanyalah salah satu dari jutaan garis keturunan ini, yang semuanya memiliki kepentingan yang sama. Kita setidaknya harus berhati-hati ketika kita harus menghancurkan beberapa garis keturunan—yaitu memakan makhluk hidup lainnya—untuk hidup," ujar Mishler.
Baca Juga: Nenek Moyang Manusia Diyakini Berbulu, Mengapa Sekarang Tidak Sama?
Baca Juga: Semakin Kaya Ragam Hayati, Ekosistem Semakin Tahan Perubahan Iklim
Baca Juga: Populasi Manusia Capai 8 Miliar: Apa Artinya untuk Masa Depan Kita?
Baca Juga: Akibat Migrasi Manusia ke Madagaskar, Sebagian Spesies Unik Hilang
Oleh karenanya, memandang manusia adalah spesies superior dan eksklusif dibanding spesies lain, disebut sebagai spesiesisme dan mirip dengan rasialisme. Konsekuensi yang sama dengan memandang satu ras lebih unggul dari ras lain.
“Kita tahu lanskap ras dan rasisme, terutama ketika orang berpikir bahwa ras adalah cabang dari pohon kehidupan manusia, dan satu ras lebih unggul," tutur Swartz.
"Kesejajaran yang sama terjadi dengan spesies dan spesiesisme. Cara Anda memandang diri sendiri dan apa yang menurut Anda nyata akan memengaruhi perilaku Anda. Ini adalah realitas sejarah dan psikologis yang melandasi momen kita saat ini.”
Hutan Mikro Ala Jepang, Solusi Atasi Deforestasi yang Masih Saja Sulit Dibendung?
Source | : | Eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR