Alam semesta bekerja dengan semestinya. Bumi cuma seperti debu bila dilihat dari tatanan alam semesta. Langit tujuh lapis menjadi alasan kenapa bumi cuma seperti debu itu tadi.
Sampai detik ini untuk menembus lapisan langit ke satu saja rasanya mustahil bagi manusia. Sebab selama manusia masih bisa melihat bintang-bintang maka itu masih di lapisan langit ke satu.
Lantas bagaimana dan ada apa di langit kedua hingga ke tujuh?
Bocoran yang pasti dan dapat dipercaya, diambang batas langit ke tujuh keadaan masih hampa, belum ada kehidupan yang dibuat oleh Tuhan di sana.
Apakah ada manusia yang sudah pernah mengunjungi langit ke satu hingga ke tujuh? Jawabannya ada.
Menyoal tatanan alam semesta, ada yang namanya Black Hole. Black Hole ini semacam vaccum cleaner raksasa yang menelan semuanya.
Bahkan astronom baru-baru ini menemukan dua lubang hitam yang tengah mengunyah dua galaksi secara bersamaan.
"Dua lubang hitam telah ditemukan mengunyah materi berdampingan di jantung dua galaksi yang bergabung, menunjukkan bahwa lubang hitam biner mungkin lebih umum daripada yang diperkirakan para ilmuwan.
Para peneliti melaporkan temuan tersebut pada 9 Januari di The Astrophysical Journal Letters(terbuka di tab baru)dan pada pertemuan ke-241 American Astronomical Society, yang diadakan di Seattle. Mereka menemukan duo penghancur di UGC 4211, sebuah galaksi yang berjarak 500 juta tahun cahaya di konstelasi Cancer, yang merupakan hasil dari penggabungan dua galaksi terpisah. UGC 4211 sedang dalam tahap akhir dari penggabungan ini; suatu hari, galaksi Bima Sakti kita akan mengalami tabrakan serupa dengan galaksi Andromeda di dekatnya," papar Live Science.
Michael Koss, seorang ilmuwan riset senior di Eureka Scientific menjelaskan dua Black Hole ini berjarak 750 tahun cahaya dari galaksi Bima Sakti.
"Mungkin ada banyak pasang lubang hitam supermasif yang tumbuh di pusat galaksi yang belum dapat kami identifikasi sejauh ini," jelasnya.
Black Hole ini diperkirakan tak akan menelan bumi.
Penulis | : | Sosok.id |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR