Nationalgeographic.co.id—Lebih dari separuh spesies pohon, khususnya yang ada di hutan kawasan timur Amerika Serikat, tidak mampu beradaptasi secepat yang diperkirakan. Penelitian sekitar satu dekade silam itu menunjukkan bahwa sekitar 59 persen spesies pohon yang diamati oleh peneliti dari Duke University menunjukkan tanda-tanda bahwa kawasan geografi mereka semakin menyebar baik ke utara dan selatan.
"Banyak studi yang mengindikasikan bahwa pepohonan akan bermigrasi ke kawasan yang memiliki ketinggian lebih sebagai tanggapan atas temperatur yang meningkat. Namun dalam analisis ini tidak terdapat bukti-bukti konsistensinya migrasi akibat perubahan iklim," ujar James S. Clark, peneliti dari Duke University. "Dari perkiraan, hanya sekitar 21 persen spesies pohon yang tampak bergerak ke arah utara," ucapnya.
Clark menyebutkan, zona hangat sendiri telah bergeser ke arah utara hingga 100 kilometer di beberapa bagian timur Amerika Serikat. "Tetapi hasil penelitian kami tidak menunjukkan bahwa populasi pohon mengikuti perubahan tersebut," ucapnya.
Padahal, pada konsep migrasi berdasarkan perubahan iklim, ketika temperatur menghangat, spesies pepohonan yang ada di kawasan selatan mati dan di saat yang sama, spesies pohon tersebut yang berada di posisi lebih ke utara terus tumbuh dan semakin bertumbuhan ke arah utara.
Temuan yang didapat oleh peneliti Duke University ini, kata Clark, menunjukkan bahwa kita perlu meningkatkan perhatian kita atas risiko yang dihasilkan oleh perubahan iklim.
Sementara itu sebuah studi lain mengungkapkan susutnya ukuran tanaman akibat perubahan iklim. Beberapa peneliti melaporkan bahwa salah satu efek dari pemanasan global adalah menyusutnya ukuran tubuh hewan. Namun perubahan iklim tak hanya mempengaruhi hewan. Selain hewan, sejumlah spesies tanaman juga mengalami penyusutan ukuran. Ironisnya, tumbuhan yang terkena dampak adalah tumbuhan yang biasa memasok nutrisi penting bagi miliaran manusia.
Jennifer Sheridan dan David Bickford, peneliti dari National University of Singapore (NUS) mengamati literatur ilmiah seputar tahapan perubahan iklim yang terjadi jauh di masa lalu dan membandingkannya dengan situasi yang terjadi di beberapa beberapa waktu setelahnya.
Baca Juga: Perubahan Iklim Bukan Satu-satunya Ancaman bagi Spesies yang Rentan
Baca Juga: Dunia Hewan: Suhu Iklim yang Meningkat Tidak Mengubah Perilaku Semut
Baca Juga: Lima Kota Dunia yang Bisa Jadi Teladan Adaptasi Perubahan Iklim
Baca Juga: Akibat Perubahan Iklim yang Kian Nyata: Menghijaunya Tanah Arab Saudi
Dari catatan fosil yang ditemukan, ternyata kenaikan temperatur di masa lalu telah membuat organisme air dan darat menjadi semakin kecil. Saat Bumi menghangat pada 55 juta tahun lalu, kumbang, lebah, laba-laba, tawon dan semut menyusut ukurannya antara 50 sampai 75 persen dalam kurun waktu beberapa ribu tahun. Mamalia seperti tupai dan tikus juga menyusut sekitar 40 persen.
Sejumlah penyusutan tersebut ternyata mengejutkan. "Tumbuhan diperkirakan malah bertambah besar dengan meningkatnya karbon dioksida di atmosfer," sebut kedua peneliti dalam laporan yang dipublikasikan di jurnal Nature Climat Change. "Tetapi ternyata banyak yang pertumbuhannya malah terhambat karena perubahan temperatur, kelembaban dan ketersediaan nutrisi," katanya.
Berhubung pemanasan global bergerak pada kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, peneliti menyebutkan, banyak organisme yang mungkin tidak mampu merespons ataupun beradaptasi dengan cepat.
"Kami belum mengetahui secara pasti mekanisme apa saja yang terlibat atau mengapa sebagian organisme menciut dan yang lain tidak terpengaruh," sebut peneliti. "Sampai kita memahami lebih lanjut, kita berpotensi memperparah kondisi yang belum dapat kita perkirakan ini."
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR