Nationalgeographic.co.id—Belakangan ini, sulit untuk menemukan moose di Amerika Utara, padahal badannya tambun dan lebar tanduknya bisa mencapai dua meter. Perubahan iklim diduga sebagai penyebab utama berkurangnya moose. Musim dingin yang lebih singkat meningkatkan populasi kutu parasit moose, dan musim dingin yang lebih hangat membuat hewan yang biasa hidup dalam cuaca dingin ini stres kepanasan.
Walrus yang resah
Hewan lain yang sulit bertahan adalah walrus Pasifik, yang biasa nangkring di lapisan es yang kini tiada. Sebetulnya, apa yang dilakukan walrus di lempengan es bukan sekadar nangkring, melainkan beristirahat dan mencari kehangatan. Dengan semakin sedikitnya es terapung, mereka berkumpul di daratan pesisir Arktika dalam kelompok yang lebih besar. Kebersamaan ini tidak bagus bagi hewan yang sudah terancam ini, karena mengundang bahaya akibat berdesakan dan meningkatnya penyebaran wabah penyakit.
Pohon-pohon tropis
Tidaklah mengherankan jika hewan-hewan yang biasa hidup di tempat dingin terancam akibat perubahan iklim. Bagaimana dengan pohon tropis?
Pohon-pohon tropis di Andes cenderung bergerak naik ke lereng yang lebih tinggi sebagai upaya mereka mendapatkan temperatur yang lebih dingin, yang cocok dengan mereka. Beberapa spesies pohon bergeser sekitar 3,8 meter.
Tetapi, menurut Justin Catanoso, pohon-pohon itu harus bergerak lebih tinggi lagi, sekitar enam meter, untuk mendapatkan temperatur yang stabil. Pohon schefflera (pohon walisongo) adalah salah satu contoh pohon yang bisa bertahan karena bisa bergerak hingga 30 meter dalam setahun.
Nasib penguin
Tahun lalu, Woods Hole Oceanographic Institution melaporkan bahwa es yang meleleh merupakan bencana bagi populasi pengin Emperor, karena es laut adalah satu-satunya tempat mereka berkembang biak dan membesarkan anak-anak mereka.
Baca Juga: Bagaimana Nasib Kita Bila Pohon Kian Rentan terhadap Perubahan Iklim?
Baca Juga: Perubahan Iklim Bukan Satu-satunya Ancaman bagi Spesies yang Rentan
Baca Juga: Bagaimana Perubahan Iklim Bisa Menyebabkan Banjir Parah di Indonesia?
Baca Juga: Lima Kota Dunia yang Bisa Jadi Teladan Adaptasi Perubahan Iklim
Suplai makanan mereka juga semakin langka. Zooplankton dan fitoplankton yang hidup di bawah lempeng es dimakan oleh udang, ikan, dan cumi-cumi, yang merupakan makanan penguin. Tak ada es, berarti tak ada plankton, jika tidak ada makanan penguin berarti tidak ada penguin. Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh ilmuwan dari Woods Hole memperkirakan bahwa jika emisi gas rumah kaca terus berlangsung seperti saat ini, pada 2100 populasi penguin Emperor di Antartika Timur akan turun dari 3.000 pasangan menjadi 500-600 pasangan saja.
Serangga justru menjadi banyak?
Serangga dikenal sebagai penyintas tangguh. Karenanya, kemungkinan mereka menjadi pemenang dalam krisis perubahan iklim, khususnya nyamuk macan Asia yang justru diuntungkan dengan iklim hangat. Laporan dalam jurnal PLOS One menyebutkan, serangga pecinta iklim yang hangat dan basah ini memperluas cakupan dan kecepatan pembiakannya, seiring musim dingin yang menghangat dan semakin tingginya curah hujan. Nyamuk ini mampu menyebarkan lebih dari 20 penyakit, termasuk demam berdarah dan dua jenis radang selaput otak.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR