Nationalgeographic.co.id—Harriet Tubman adalah seorang budak wanita yang berhasil melarikan diri dari majikannya. Ia kemudian menjadi "konduktor" di Kereta Api Bawah Tanah. Kisah hidupnya cukup menggugah.
Ia menjelma menjadi tokoh penting bagi segenap budak di Amerika. Wanita ini memimpin sejumlah orang-orang kulit hitam yang diperbudak untuk menuju kebebasan sebelum Perang Saudara berkecamuk.
Pada tahun 1840, ayah Harriet dibebaskan dan Harriet mengetahui bahwa wasiat terakhir pemilik Rit telah membebaskan Rit dan anak-anaknya, termasuk Harriet.
Sekitar tahun 1844, Harriet menikah dengan John Tubman, seorang pria kulit hitam bebas, dan mengubah nama belakangnya dari Ross menjadi Tubman.
Pada saat dirinya diperbudak, ia melarikan diri dengan kereta bawah tanah. Tubman dan saudara laki-lakinya, Ben dan Henry, melarikan diri dari perbudakan pada tanggal 17 September 1849.
Tubman telah disewa Anthony Thompson (putra dari mantan pemilik ayahnya), yang memiliki perkebunan besar di sebuah daerah bernama Poplar Neck. Dengan bantuan Kereta Api Bawah Tanah, Harriet melakukan perjalanan 90 mil ke utara menuju Pennsylvania demi merengkuh kebebasannya.
Sejak ditetapkan Fugutive Slave Act tahun 1850, dijelaskan bahwa mengizinkan buronan dan pekerja yang dibebaskan di utara untuk ditangkap dan diperbudak. Ini yang membuat Harriet terus dikejar dan membuatnya melarikan diri semakin jauh.
"Dalam setiap pelariannya, ia kerap membius bayi yang ada bersamanya agar para pemburonnya tak dapat mendengar tangisan bayi hingga menemukannya," tulis Liza Weisstuch.
Ia menulisnya kepada Smithsonian Magazine dalam sebuah artikel berjudul "Harriet Tubman Is Famous for Being an Abolitionist and Political Activist, but She Was Also a Naturalist" yang terbit pada 10 Maret 2022.
Sejak diterbitkannya Undang-undang Budak Buronan 1850 (Fugutive Slave Act 1850), meningkatkan risiko bagi mereka yang melarikan diri dari perbudakan. Maka dari itu, Tubman mencari perlindungan di Ontario Selatan.
Baca Juga: Perdagangan Budak Belanda di Transatlantik, Dari Afrika hingga Amerika
Baca Juga: David Ruggles, Abolisionis Penentang Rasisme di Amerika Serikat
Baca Juga: Kisah Perbudakan Rasis di Perkebunan Medan Pada Era Penjajahan Belanda
Memasuki bulan Desember 1851, Tubman tercatat memandu 11 budak buronan tak dikenal, ke utara. Ada bukti yang menunjukkan bahwa Tubman dan 11 kelompoknya itu singgah di rumah tokoh abolisionis terkenal dan mantan budak, Frederick Douglass.
Dalam otobiografi ketiganya, Douglass menulis: "Pada suatu kesempatan saya memiliki sebelas buronan pada saat yang sama di bawah atap saya, dan mereka harus tetap bersama saya sampai saya dapat mengumpulkan cukup uang untuk membawa mereka ke Kanada."
Douglass dan Tubman sangat mengagumi satu sama lain karena mereka berdua berjuang melawan perbudakan. Ini terbukti dari perjuangan Tubman selama 11 tahun menyelamatkan para budak buronan.
Tubman berulang kali kembali ke Pantai Timur Maryland untuk menyelamatkan sekitar 70 budak dalam sekitar 13 ekspedisi, termasuk saudara laki-lakinya yang lain, Henry, Ben, dan Robert.
Dia juga memberikan instruksi khusus kepada 50 hingga 60 buronan tambahan yang melarikan diri ke utara. Terlepas dari upaya pembebasan budak dari para pemiliknya, dan membawa mereka ke tempat aman, Tubman dan para budak buronan yang dia bantu tidak pernah ditangkap.
Berkat usahanya dan keberaniannya mengambil langkah berisiko, dia dijuluki "Nabi Musa", merujuk pada nabi dalam Al-Qur'an yang memimpin bangsanya menuju kebebasan dari belenggu Firaun.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR