Nationalgeographic.co.id—Khajuraho adalah kota kuno di wilayah Madhya Pradesh di India utara. Dari abad ke-10 hingga ke-12 Masehi, kota ini menjadi ibu kota raja-raja Chandella yang memerintah Bundelkhand.
“Meski memiliki reputasi besar sebagai pusat budaya yang penting, tidak ada bangunan non-religius yang bertahan,” tulis Mark Cartwright di laman World History Encyclopedia. Namun keberadaan 85 candi Hindu dan Jain menjadikannya salah satu situs sejarah paling signifikan di India saat ini. Sebanyak 22 dari candi Hindu dan Jain tadi masih terpelihara dengan baik.
Sejarawan Muslim Abu Rihan Alberuni menjulukinya sebagai 'Kota Para Dewa'. Khajuraho yang terdaftar oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia, dikenal akan candi dengan relief yang menampilkan adegan dewasa. Meski demikianl, Khajuharo lebih dari sekadar candi yang menampilkan adegan dewasa belaka.
Khajuharo, kota bersejarah yang penting
Khajuraho merupakan kota bersejarah yang berada di negara bagian Madhya Pradesh utara, India tengah.
Ini adalah situs wisata dan arkeologi terkenal yang dikenal dengan kuil pahatannya yang didedikasikan untuk dewa Siwa, Wisnu, dan Jaina.
Dari abad ke-9 hingga abad ke-11, raja-raja Chandela mengembangkan wilayah yang luas yang diberi mana Jejakabhukti (Jijhoti). Pada puncaknya, Jejakabhukti mencakup hampir semua wilayah yang sekarang menjadi negara bagian Madhya Pradesh, berpusat di wilayah bersejarah Bundelkhand. Ibukota aslinya membentang seluas sekitar 21 km persegi dan memiliki sekitar 85 kuil. Semuanya dibangun oleh penguasa berturut-turut dari sekitar tahun 950 hingga 1050.
Pada akhir abad ke-11, Chandela, dalam masa kekacauan dan kemunduran. Khajuraho melanjutkan fungsi religiusnya hingga abad ke-14 tetapi kemudian dilupakan. Tetapi, keterpencilannya mungkin menyelamatkannya dari perusakan yang dilakukan oleh Mughal pada monumen-monumen Hindu.
Pada tahun 1838 seorang kapten tentara Inggris, T.S. Burt, menemukan informasi yang tentang ibu kota kuno itu. Informasi tersebut membawanya pada penemuan kembali kompleks candi di hutan di Khajuraho.
Candi-candi Khajuraho
Sebagian besar candi di Khajuraho dibangun menggunakan batu pasir. Empat candi lainnya menggunakan granit dalam konstruksinya. Salah satu yang menggunakan granit adalah candi Chaunsat Yogini (64 dewi tantra), dibangun 875-900 Masehi. “Candi ini memiliki 64 ruang kuil yang disusun mengelilingi halaman persegi panjang,” tambah Cartwright.
Selanjutnya dalam pengembangan situs ini muncul candi Lalguan Mahadeva, Brahma, dan Matangesvara. Ketiganya memiliki desain dan dekorasi yang cukup sederhana dibandingkan dengan candi-candi lain.
Sebagian besar candi di Khajuraho dibangun antara tahun 950 dan 1050 Masehi dan beraliran Hindu (Saiva atau Vaisnava) atau Jain.
Yang paling terkenal adalah Kandariya Mahadeo yang dibangun pada awal abad ke-11 Masehi dan didedikasikan untuk Siwa.
Candi Laksmana yang kurang lebih kontemporer dibangun pada tahun 954 M oleh Raja Dhanga (950-999 Masehi). Candi itu dibangun untuk merayakan kemerdekaan dari penguasa Gurjara-Pratihara. “Tata letak dan eksteriornya mirip dengan Kandariya Mahadeo,” kata Cartwright lagi.
Laksmana didedikasikan untuk Wisnu dan terasnya menjadi catatan khusus karena membawa dekorasi naratif yang mengelilingi keempat sisinya. Reliefnya menggambarkan gajah, prajurit, pemburu, dan musisi membentuk prosesi yang disaksikan oleh penguasa dan pelayan wanitanya.
Legenda Candi Khajuraho
Menurut legenda, Hemvati adalah seorang wanita cantik yang menjadi alasan mengapa kuil Khajuraho dibangun.
Suatu hari, ketika dia sedang mandi di sebuah kolam di Benaras. Dewa Bulan terpesona oleh kecantikannya dan tidak sabar lagi untuk melihatnya. Mereka mengandung seorang anak dan menamainya Chandravarman.
Sang ibu kemudian menjadi khawatir anaknya mungkin harus menghadapi pelecehan karena lahir di luar nikah. Hemvati tertekan dan mengutuk Dewa Bulan. Sebaliknya, Dewa Bulan justru meramalkan bahwa anak itu kelak akan tumbuh menjadi raja yang hebat.
Seperti ramalan, anak itu memang tumbuh menjadi raja besar yang mendirikan dinasti Chandela. Suatu hari, setelah Hemvati meninggal, putranya melihatnya dalam mimpinya. Si ibu memintanya untuk membangun kuil yang menggambarkan nafsu manusia.
Candi Kandariya Mahadeo, bangunan paling menarik di Khajuraho
Candi Kandariya Mahadeo mungkin merupakan bangunan paling menarik di Khajuraho dan tentunya yang terbesar.
Dibangun sekitar tahun 1025 Masehi pada masa pemerintahan Vidyadhara (memerintah 1004-1035 M). Kandariya Mahadeo merupakan contoh yang sangat baik dari desain kuil India Utara yang berkembang sepenuhnya.
Bagian luarnya memiliki serangkaian menara (sikhara) yang spektakuler. Didesain sedemikian rupa, candi ini tampak seperti pegunungan dengan beragam puncak. Candi Hindu ini tampak mewakili Himalaya dan 'gunung dunia'. Namun efek gunung dunia seharusnya ditonjolkan oleh lapisan gesso putih sekarang telah hilang.
Candi Kandariya Mahadeo didekorasi dengan indah. Cartwright menambahkan, “Terdapat pahatan 646 figur di bagian luar dan 226 di dalam gedung.” Sebagian besar figur tingginya kurang dari satu meter dan disusun dalam dua atau tiga tingkatan.
Figur-figur itu didominasi tokoh Siwa dan dewa Hindu lainnya seperti Wisnu, Brahma, Ganesha, beserta pengiringnya, surasundaris (bidadari), dan mithuna (kekasih).
Patung-patungnya mencakup adegan-adegan dewasa. Terutama di dinding selatan antarala. Dinding itu diukir dengan relief tinggi dengan sosok-sosok yang digambarkan dalam berbagai pose seks yang akrobatik. Alih-alih adegan melanggar etika, relief itu mewakili gambaran kesuburan dan kebahagiaan. Relief ini dianggap menguntungkan dan melindungi.
Lebih dari sekadar adegan dewasa
“Dikatakan bahwa Mahatma Gandhi menganggap pahatan di kuil Khajuraho sangat mengecewakan,” tulis Panchali Dey di laman Times of India. Ia membujuk pendukungnya untuk mengikis dinding kuil hingga bersih dari penggambaran budaya India yang memalukan dan tidak senonoh
Untungnya rencana itu tidak berhasil dan candi Khajuraho masih berdiri tegak hingga kini.
Sebagian orang mungkin menganggap relief di kuil Khajuraho sebagai adegan yang tidak pantas disaksikan, dan bagi sebagian orang mungkin sangat mengganggu. Bisa jadi, sebagian besar orang melewatkan poin terpenting yakni tujuan dasar pembangunan candi-candi tersebut.
“Situs Warisan Dunia UNESCO ini jauh dari representasi kecil dari Kama Sutra,” kata Dey. Candi-candi di sini sebenarnya menggambarkan gagasan kehidupan yang melibatkan benda-benda estetis untuk menciptakan sesuatu yang inspiratif.
Menariknya, hanya 10 persen ukiran di kompleks candi yang menggambarkan tema seksual. Relief lainnya menggambarkan kehidupan sehari-hari orang biasa yang ada pada masa itu.
Misalnya, beberapa patung menampilkan wanita yang merias wajah, lainnya menampilkan pembuat tembikar, musisi, dan petani.
Keyakinan yang paling umum dan tidak berdasar adalah relief di Khajuraho menggambarkan hubungan seks antar dewa.
Terdapat banyak perdebatan seputar makna di balik relief-relief adegan dewasa Candi di Khajuraho.
Baca Juga: Mari Menelisik Asal Usul Yoga, Berasal dari Budaya India Kuno
Baca Juga: Sejarah Permainan Ular Tangga, Jadi Alat Pengajaran Agama Hindu
Baca Juga: Menguak Keunikan India Kuno Lewat Catatan Perjalanan Marco Polo
Baca Juga: Menyingkap Peradaban Lembah Sungai Sindhu Paling Kuno di Bumi
Beberapa percaya relief itu mengemukakan prinsip-prinsip tantra, menyeimbangkan kekuatan laki-laki dan perempuan di alam semesta. Yang lain bahkan percaya bahwa relief itu ditempatkan untuk melindungi kuil dari petir.
Sementara beberapa kelompok menganggap patung-patung itu dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana manusia meninggalkan basis mereka. Dorongan hewani tertinggal saat mereka naik ke keadaan pikiran yang lebih bahagia dan tenteram.
Apapun pesan sebenarnya di balik Candi Khajuraho, keindahan patung tetap tak berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Detail kecil yang luar biasa, seperti perhiasan, kuku, tindikan, dan tata rambut, masih dapat dibedakan.
Seluruh tempat terasa suci saat para wanita membawa seikat bunga dan batang dupa untuk mengirim doa ke surga.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Times of India,World History Encyclopedia,Britannica |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR