Nationalgeographic.co.id—Penyair Chao Chai dari Dinasti Tang (618 – 907) dalam “Song in Midnight” menggambarkan seorang wanita yang merindukan kekasihnya. Untuk menunjukkan cintanya, si wanita mengirimkan potongan kuku jarinya yang terawat rapi. Mengapa kuku dan bukan surat cinta? Rupanya, kuku panjang di zaman Kekaisaran Tiongkok menjadi simbol status.
Kuku dirawat dan dijaga sedemikian rupa sehingga menjadi salah satu harta yang berharga. Maka tidak heran jika si wanita dalam “Song in Midnight” mengirimkan salah satu miliknya yang paling berharga.
Makna penting kuku di zaman Kekaisaran Tiongkok
Di Tiongkok kuno, kuku panjang adalah tanda kasih sayang yang serius. Pasalnya, kuku memiliki makna yang luar biasa.
The Classic of Filial Piety, kompilasi diskusi antara Konfusius dan murid-muridnya tentang bakti, mencatat bahwa rambut, kulit, dan tubuh berasal dari orang tua. Dan seseorang tidak boleh menyakiti ketiga hal itu. “Ini adalah bakti menurut Konfusius,” tulis Yang Tingting di laman Sixth Tone. Konfusius juga sering digambarkan dengan kuku yang sangat panjang.
Meskipun tidak jelas kapan tepatnya orang Tionghoa memiliki kebiasaan memanjangkan kuku, ada cerita tentang pentingnya kuku sejak periode Negara Berperang (475 – 221 Sebelum Masehi).
Dalam satu kisah yang tercatat di Hanfeizi, sebuah teks politik dan hukum Dinasti Qin, penguasa negara Han, Zhao, menguji kejujuran bawahannya. Sang penguasa mengeklaim bahwa ia kehilangan salah satu kukunya dan berusaha menemukannya.
Setelah melihat ekspresi cemas di wajah pemimpinnya, banyak bawahannya memotong kuku mereka dan menyerahkannya kepada penguasa. Semua mengatakan bahwa mereka telah menemukan kuku Zhao. Ini membuktikan bahwa mereka akan menggunakan cara yang tidak jujur untuk mendapatkan bantuan politik. Zhao menghindari untuk memiliki bawahan seperti mereka di masa depan.
Kuku panjang sebagai simbol kekayaan dan status
Baik pria maupun wanita dari kelas atas, terutama sastrawan, memanjangkan kukunya sebagai simbol kekayaan. Kuku panjang menandakan bahwa pemiliknya tidak harus melakukan pekerjaan kasar.
Namun terlepas dari konsensus bahwa kuku adalah bagian penting dari tubuh, beberapa pemimpin membuktikan komitmen pada kerajaan dengan mengorbankan kuku.
Menurut Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur Master Lü, raja pertama Dinasti Shang (1600 – 1046 SM), memotong rambut dan kukunya. “Keduanya dijadikan persembahan bagi surga untuk memohon hujan selama kekeringan di seluruh wilayahnya,” tambah Yang.
Tradisi dan takhayul seputar kuku
Pentingnya kuku juga menciptakan tradisi dan takhayul seputar pemotongan kuku. Di Dinasti Tang, tabib Sun Simiao menyimpulkan dalam Formula Esensial untuk Keadaan Darurat Senilai Seribu Keping Emas. Ia menyebutkan bahwa kuku jari tangan seseorang dipotong pada lima hari tertentu setiap tahun. Hari dihitung berdasarkan kalender kuno yang digunakan pada waktu itu.
Ketika seseorang meninggal, kuku mereka akan dipotong dan dikubur bersama mereka. Menurut Book of Rites, kumpulan teks tentang prinsip-prinsip ritual di era Zhou, kuku dan potongan kuku akan ditempatkan di peti jenazah. Selain itu, kuku juga bisa dikuburkan secara terpisah di samping jenazah. Itu mewakili hadiah berbakti kepada orang tua dan leluhur seseorang di akhirat.
Kuku juga bisa berfungsi sebagai objek kasih sayang, seperti dalam novel Dinasti Qing (1616 – 1911), Dream of the Red Chamber. Saat itu pelayan yang sekarat memilih untuk menggigit kukunya yang panjang. Ia kemudian menghadiahkan potongan tersebut kepada tuannya untuk menunjukkan cintanya.
Seni memperindah kuku
Selain berbakti, wanita juga mempercantik dan menghias kuku mereka. Cat kuku dibuat dari kombinasi putih telur, lilin lebah, dan kelopak bunga untuk memberikan warna.
Seni kuku ini mencapai puncaknya selama Dinasti Tang ketika Yang Guifei, selir favorit Kaisar Xuanzong, dikabarkan lahir dengan kuku berwarna merah. Warna kuku itu akhirnya menjadi tren di istana kerajaan.
Kuku dianggap sangat berharga dan butuh waktu lama untuk tumbuh panjang. Maka melindungi kuku juga jadi hal yang sangat penting. Pada Dinasti Ming (1368 – 1644) dan Qing, pelindung kuku atau hu zhi digunakan sebagai pelindung kuku. Pelindung kuku yang dibuat didesain dengan indah menjadi aksesoris penting para wanita bangsawan di masa itu.
Pelindung kuku biasanya terbuat dari logam, kerang, dan bahkan batu giok. Berbentuk melengkung seperti cakar, pelindung kuku dihiasi dengan berbagai desain dan motif. Peony adalah pilihan populer karena melambangkan keberuntungan dan kekayaan.
Baca Juga: Kisah Pilu Zigu, Selir di Zaman Tiongkok Kuno yang Menjadi Dewi Toilet
Baca Juga: Seberapa Kaya Kekaisaran Tiongkok hingga Membuat Eropa 'Kesal'?
Baca Juga: Tujuh Pemimpin Gila Sepanjang Sejarah, dari Tiongkok Kuno hingga Rusia
Baca Juga: Nestapa Pria Miskin di Tiongkok Kuno, Dikebiri demi Jadi Kasim
Pelindung kuku ini sebagian besar dikenakan di jari manis atau kelingking oleh wanita istana kekaisaran. “Tujuannya adalah untuk menunjukkan status tinggi mereka,” ujar Yang.
Pelindung kuku Cixi menggambarkan sifat boros Kekaisaran Tiongkok
Pengguna paling terkenal dari pelindung kuku ini mungkin adalah Ibu Suri Cixi, penguasa de facto Dinasti Qing dari tahun 1835 hingga 1908. Cixi terkenal karena kukunya yang panjangnya 15 cm.
Diperkirakan, butuh sekitar 10.000 tael perak (lebih dari 30 juta RMB atau 66,8 juta rupiah hari ini) setahun untuk merawat kuku Cixi. Dirapikan, dicat, diwarnai, dan dilindungi oleh pelindung kuku yang mewah, kuku Cixi menjadi simbol pemerintahan elit Qing yang boros di akhir kekaisaran. Sifat itu pada akhirnya membantu mempercepat kehancuran dinasti.
Hong Rengan, seorang pemimpin Pemberontakan Taiping melawan pemerintahan Qing pada pertengahan abad ke-19, mengkritik obsesi dengan kuku panjang. “Berlebihan dan boros,” katanya dalam esai “A New Treatise on Aids to Administration”.
Tren pelindung kuku akhirnya memudar setelah jatuhnya Dinasti Qing pada tahun 1911. Meskipun cat kuku dan manikur tetap populer saat ini, mengirimkan potongan kuku sebagai tanda cinta mungkin bukan ide yang bagus.
Sejarah Migrasi Manusia Modern di Indonesia Terungkap! Ada Perpindahan dari Papua ke Wallacea
Source | : | Sixth Tone |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR