Nationalgeographic.co.id—Nazi dikenal dunia memiliki sejumlah kamp tahanan bak neraka. Di antara kengerian kamp konsentrasi Nazi seperti Auschwitz, Buchenwald, Dachau, dan Mauthausen-Gusen, kisah Ravensbrück sering diabaikan.
Pengabaian sejarah tentang kamp itu terjadi mungkin karena di sana merupakan satu-satunya kamp khusus untuk tahanan wanita, di mana orang-orang secara keliru berasumsi bahwa kamp wanita Nazi akan lebih ramah dan lebih lembut.
"Atau mungkin juga karena kamp tersebut segera ditutup di Jerman Timur setelah pembebasannya oleh pasukan Soviet," tulis John Kuroski kepada All Thats Interesting.
Bersama dengan photo story-nya, ia menulisnya dalam sebuah artikel berjudul 24 Photos Of Life Inside Ravensbrück, The Nazis’ Only All-Female Concentration Camp yang diterbitkan pada 26 Januari 2015.
Tidak seperti Bergen-Belsen, Dachau atau Buchenwald, kengeriannya tidak terekam oleh fotografer profesional yang menemani pasukan Sekutu di hari-hari terakhir perang. Namun kisah kamp konsentrasi Ravensbrück patut diingat.
Setelah meletusnya Perang Dunia II, sejumlah 130.000 tahanan wanita melewati gerbang Ravensbrück. Mengerikannya, kebanyakan dari mereka yang masuk ke kamp itu tidak pernah bisa keluar lagi. Hanya sedikit wanita Yahudi yang dikirim ke sana.
Catatan perang yang bertahan menunjukkan bahwa selama tahun-tahun pengoperasian kamp (Mei 1939 hingga April 1945), hanya 26.000 narapidana adalah orang Yahudi. Lantas, siapa saja tahanan wanita yang dikirim ke kamp itu?
Kebanyakan wanita itu adalah penentang rezim Nazi: mereka adalah mata-mata dan pemberontak. Sisanya adalah cendekiawan dan akademisi yang secara terbuka mendukung sosialisme atau komunisme—atau menganut faham lain yang dianggap berbahaya oleh Hitler.
Terdapat juga sekelompok wanita yang sama sekali tidak memenuhi ekspektasi feminitas Jerman—kelompok ini termasuk golongan lesbian, istri Arya dari Yahudi, wanita dengan cacat fisik, dan wanita dengan gejala sakit mental.
Mereka, bersama para pelacur, dipaksa memakai lencana segitiga hitam yang menandai mereka sebagai wanita "asosial". Sebaliknya, penjahat akan memakai lencana segitiga hijau, dan tahanan politik mengenakan lencana merah.
Narapidana Yahudi, yang sudah terbiasa dengan lencana bintang yang menandai mereka sebelum penahanan, kemudian mereka diberi lencana segitiga berwarna kuning.
"Semakin banyak kotak (kesalahan atau kejahatan) yang Anda centang, semakin banyak lencana yang Anda dapatkan, dan kemungkinan besar nasib Anda akan semakin buruk," imbuh Kuroski.
Menyedihkannya, tidak ada pengecualian dan tidak ada belas kasihan. Tidak peduli seorang wanita sedang hamil atau menggendong balita, mereka akan dihukum sesuai ketetapan.
Anak-anak akan mengikuti ibu mereka ke kamp, tidak peduli apakah mereka bersalah atau bayi yang tak mengerti apapun tentang politik duniawi. Hampir dari semua tahanan kamp itu tidak ada yang selamat.
Para tahanan wanita itu datang dari seluruh Eropa, dan berbicara dalam berbagai bahasa: Rusia, Prancis, Polandia, Belanda. Mereka memiliki latar belakang sosial ekonomi yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, dan pandangan agama yang berbeda.
Namun, mereka berbagi satu hal: partai Nazi menganggap setiap orang dari mereka "menyimpang". Mereka bukan bagian dari masa depan yang gemilang bagi Jerman.
Barak yang dimaksudkan untuk menampung 250 wanita harus memuat sebanyak 2.000; bahkan berbagi tempat tidur pun tidak akan cukup untuk menahan banyak orang, sehingga banyak yang tertidur dengan posisi duduk.
Para wanita dipaksa bangun sebelum jam 4 pagi untuk membangun jalan, menarik roller paving seperti lembu. Saat berada di dalam ruang, mereka menghabiskan waktu lama untuk membungkuk di atas komponen listrik roket.
Selain itu, mereka juga bekerja di sebuah aula yang berangin dengan lampu remang-remang, mereka diperintah untuk menjahit seragam bagi tahanan dan mantel untuk tentara. Mereka diberikan libur pada hari minggu.
Beberapa orang akan berpendapat bahwa Ravensbrück tidaklah kejam. Kamp ini dibuat sebagai tempat pelatihan bagi para tahanan wanita, yang dikenal sebagai Aufseherinnen. Ravensbrück juga melatih ribuan wanita untuk berjaga di kamp konsentrasi di seluruh Jerman.
Mereka menghukum tahanan yang tidak patuh tanpa ampun, mengunci mereka di sel isolasi, mencambuk mereka, dan kadang-kadang menempatkan anjing kamp pada sel mereka.
Jauh lebih tragis, sekitar 86 tahanan, kebanyakan dari mereka orang Polandia, dikenal sebagai "kelinci" Ravensbrück. Dokter kamp memilih mereka untuk dijadikan sebagai eksperimen medis.
Baca Juga: Tenggelamnya Kapal van Imhoff yang Mengangkut Simpatisan Nazi
Baca Juga: Sulit Dipercaya, Tentara Ini Mengusir Nazi Jerman Sendirian dari Kota
Baca Juga: Einstein Tak Mau Bekerja Untuk Nazi, Sekalipun Ia Seorang Jerman
Baca Juga: Kisah Pencicip Makanan Hitler: Setiap Suapan Bisa Jadi yang Terakhir
Seperti kisah tim medis yang akan menguji keampuhan obat antibakteri yang dikenal sebagai sulfonamid guna mengobati infeksi di medan perang, terutama gangren. Untuk itu, mereka menginfeksi pasien, menyimpan bakteri mematikan pada serpihan kayu dan kaca kemudian ditusukkan jauh ke dalam otot para korban malpraktik.
Para dokter keji itu juga menguji praktik transplantasi tulang dan regenerasi saraf. Mereka melakukan amputasi dan transplantasi paksa, hingga membunuh banyak "kelinci" medis dalam prosesnya. Mereka yang selamat, menjadi cacat.
Pada akhirnya, Ravensbrück membunuh antara 30.000 dan 50.000 wanita. Mereka menemui ajalnya di tangan pengawas yang brutal dan dokter yang keji. Di antara mereka ada juga yang mati kelaparan di lantai tanah yang dingin, dan menjadi korban penyakit yang menjangkiti barak yang penuh sesak.
Ketika Soviet membebaskan kamp tersebut, mereka menemukan 3.500 tahanan bertahan hidup. Secara total, hanya 15.000 dari 130.000 tahanan yang datang ke Ravensbrück dan mendapatkan pembebasan oleh Soviet.
Hari ini, abu jasad mereka telah memenuhi Danau Schwedt, yang di mana di tepiannya para tahanan wanita Ravensbrück yang gugur berjuang dalam kemalangan dan penderitaan hingga menemui ajalnya.
Source | : | All Thats Interesting |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR