Nationalgeographic.co.id—Peter De Smet adalah mantan profesor Quality of Pharmaceutical Patient Care di Universitas Radboud. Ia menerima hadiah dalam kategori Sejarah Seni untuk artikel ilmiah dari tahun 1986 tentang gambar ritus enema suku Maya yang aneh.
Suku Maya adalah peradaban kuno pra-Columbus yang mengalami masa kejayaannya sekitar tahun 250 hingga 900 M di Guatemala dan Meksiko serta beberapa negara-negara tetangganya.
De Smet ingat dengan baik pertama kali ia berhubungan dengan seni Maya yang tidak biasa, menampilkan gambar ritual enema pada pameran barang antik yang diadakan di Brussel pada awal 1980-an.
"Dia diperlihatkan vas yang tidak biasa dengan ritual enema di atasnya. De Smet langsung terkesan dengan vas itu," tulis Ken Lambeets kepada Vox dalam artikel Did Mayan people get drunk from enemas? This scientist put it to the test terbitan 21 September 2022.
Setelah kunjungan De Smet, antropolog Amerika Nicholas Hellmuth memberikan ceramah tentang vas 'enema' Maya.
De Smet, yang menghadiri kuliah tersebut, mulai melakukan pengkajian mendalam tentang ritus enema. Enema merupakan cairan yang dimasukkan melalui dubur dan telah menjadi tradisi bagi orang-orang Maya Kuno.
Orang-orang Maya dianggap bukan hanya sekadar penikmat cokelat, melainkan penggila cokelat. Bahkan, mereka akan memfermentasi biji kakao mereka, menjadi minuman cokelat yang dicampur dengan halusinogen yang memabukkan.
De Smet menduga bahwa pulque diolah sendiri oleh Maya: minuman Mesoamerika dengan persentase alkohol yang cukup rendah. "Mereka mungkin melengkapi minuman beralkohol dengan zat dengan efek yang lebih kuat, seperti tanaman halusinogen," tutur De Smet.
Sang profesor telah menemukan Jivaro, seorang Indian yang masih lekat dengan ritus enema. Dari pengamatannya, "laki-laki dewasa dari suku tersebut membentuk barisan, memegang mangkuk tembikar yang berisi halusinogen ekstrem."
Cairan yang digunakan sebagai ritus enema diperkirakan adalah campuran olahan minuman cokelat. Bagaimanapun, cokelat adalah sajian sakral nun mewah yang melambangkan kedigdayaan sosial dan kekayaan ekonomi para elit Maya.
Cokelat yang bercampur dengan zat halusinogen ekstrem akan menjadi minuman sepanjang ritual berlangsung. "Untuk terhubung dengan semua laki-laki suku, laki-laki muda harus minum beberapa teguk dari setiap mangkuk," imbuh De Smet.
Seringkali, mereka tidak sampai ke akhir baris karena sudah kadung berhalusinasi lebih dulu. Mangkuk berisi cokelat memabukkan yang belum selesai itu kemudian mereka gunakan sebagai enema, memasukkan cairannya lewat dubur.
Beberapa sejarawan percaya bahwa ritus enema dengan menggunakan cokelat bertujuan sebagai pengganti darah untuk menjalin hubungan dengan dewa atau leluhur, sehingga dipandang sakral.
Baca Juga: Di Balik Tradisi Aneh Elit Suku Maya Demi Miliki Mata Juling
Baca Juga: Peneliti Ungkap Pencemaran Merkuri Tingkat Tinggi di Kota Maya Kuno
Baca Juga: Melihat Kota Kuno Peninggalan Suku Maya di Dasar Danau Atitlan
Baca Juga: Sistem Penanggalan Maya dan Kepercayaan Tentang Akhir Kehidupan
Alih-alih meminumnya dengan cara biasa, minuman cokelat itu akan diberikan melalui enema—saluran anus—sebagai suatu ritus yang disakralkan dan dipertahankan bahkan sampai hari ini.
Enema adalah elemen sentral dalam kepercayaan spiritual dan mitologis dari berbagai budaya Mesoamerika, di mana ritual ini bahkan merupakan bagian dari kisah penciptaan Kerajaan Quiché Klasik di dataran tinggi barat Guatemala.
Enteogen Maya Kuno yang paling umum digunakan adalah minuman yang disebut balché. Itu dibuat dari kulit pohon polongan yang difermentasi dalam air dengan madu.
Maya menggunakan jamur halusinogen yang disebut k'aizalaj okox. Jamur itu dikonsumsi dalam upacara ritual. K'aizalaj okox digunakan sebagai campuran bubuk kering sehingga menghasilkan halusinasi yang kuat.
Selanjutnya, cokelat bukanlah satu-satunya bagian dari ritus enema, masih ada beberapa cairan pengobatan lainnya yang dimasukkan melalui dubur sebagai alternatif yang dipercaya efektif dalam dunia pengobatan Maya.
Source | : | Vox |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR