Nationalgeographic.co.id—Pada November 1908, sebuah kejahatan dilakukan di balik tembok merah yang megah di Kota Terlarang (Forbidden City), Beijing. Itu adalah kejahatan terbesar: pembunuhan seorang kaisar. Korbannya adalah kaisar kedua hingga terakhir dari dinasti Qing — Guangxu. Seorang kasim dan yoghurt dicurigai menjadi penyebab kematian kaisar Tiongkok yang malang itu.
“Guangxu adalah sosok tragis dalam sejarah kekaisaran Tiongkok,” tulis Louisa Lim di laman NPR. Ia baru berusia 38 tahun pada saat kematiannya. Kaisar Tiongkok, sang Putra Surgawi, menjadi korban kudeta istana yang disebabkan oleh perbedaan politik dengan bibinya, Ibu Suri Cixi.
Sejarawan Qing, Joseph Esherick dari University of California, menggambarkan apa yang terjadi. “Ia memimpin program reformasi yang sangat kuat 10 tahun sebelumnya, pada tahun 1898. Setelah itu dia digulingkan oleh ibu suri dan menjadi tahanan rumah sejak saat itu.”
Guangxu meninggal hanya 22 jam sebelum Ibu Suri Cixi yang berusia 74 tahun mengembuskan napas terakhirnya. Catatan medis kekaisaran menunjukkan bahwa kematian Guangxu disebabkan oleh sebab alami. Tapi meski begitu, ada desas-desus tentang pembunuhan yang keji.
Mencari tahu penyebab kematian Kaisar Guangxu dari Dinasti Qing
Sebuah penelitian dilakukan untuk mencari tahu apa penyebab kematian kaisar terakhir kedua dari Kekaisaran Tiongkok ini.
“Kami mengambil sehelai rambut berukuran 25 sentimeter. Dan setelah analisis, kami menemukan kandungan arseniknya 2.400 kali lebih tinggi dari biasanya,” kata Zhu Chenru, wakil direktur Komite Nasional untuk Penyusunan Sejarah Qing.
Penelitian tersebut dilakukan selama lima tahun oleh the China Institute of Atomic Energy, laboratorium forensik kepolisian Beijing, dan China Central Television.
Mereka menemukan bahwa rambut Guangxu memiliki kadar arsenik 261 kali lebih tinggi daripada istrinya, Permaisuri Longyu. Bahkan sekitar 132 kali lebih tinggi daripada pejabat Qing sehingga faktor lingkungan dapat dikesampingkan.
Mereka juga membandingkan helai rambut kaisar dengan orang yang menderita keracunan arsenik kronis. Tujuannya untuk mengecualikan kemungkinan bahwa kaisar diracuni dari waktu ke waktu dengan meminum obat Tiongkok. Bisa jadi obat tradisional itu mengandung arsenik dalam jumlah kecil.
Tim juga menguji tujuh tulang dan pakaian yang digunakan kaisar saat dimakamkan. “Pakaian yang menutupi perutnya memiliki kadar arsenik yang lebih tinggi daripada pakaian lainnya,” ungkap Zhu Chenru. Kesimpulan akhir mereka adalah bahwa Guangxu meninggal karena keracunan arsenik akut.
Misteri kasim dan yoghurt, benarkah dua hal tersebut jadi penyebab kematian kaisar?
Jadi, siapa pembunuhnya? Ibu suri punya motif. Jika Guangxu hidup lebih lama dari ibu suri, ia akan memulai kembali reformasi dan mengacaukan semua kerja kerasnya di kekaisaran.
Adapun siapa yang memberikan racun, ada lima tersangka utama, termasuk kasim favoritnya, Li Lianying.
Tapi Zhu mengatakan hanya satu orang yang bisa membuat keputusan untuk membunuh. “Satu hal yang pasti: ibu suri adalah dalangnya. Sedangkan lima orang lainnya adalah kroninya. Dengan penjagaan ketat, tidak mungkin orang luar datang ke istana untuk meracuni kaisar,” tambah Zhu lagi.
Racun itu bisa saja ditempatkan dalam semangkuk yoghurt. Menteri ritual di istana Qing, Pu Liang, mewariskan kisah yoghurt ini secara lisan kepada cicitnya, Qi Gong.
Baca Juga: Akibat Kaisar Tiongkok 'Gila' Bertukang, Kasim Jalankan Pemerintahan
Baca Juga: Sun Yaoting, Kasim Terakhir Kekaisaran Tiongkok di Kota Terlarang
Baca Juga: Cheng Ho, Kasim yang Membawa Tiongkok Kuno ke Panggung Dunia
Baca Juga: Nestapa Pria Miskin di Tiongkok Kuno, Dikebiri demi Jadi Kasim
Zhu menceritakan kembali kisahnya. “Kakek buyutnya mengatakan kepadanya bahwa ia telah melihat seorang kasim keluar dari kamar ibu suri membawa mangkuk. Dia bertanya apa itu. Jawabannya adalah, ‘Yoghurt. Ibu suri meminta saya untuk memberikannya kepada kaisar.’ Dua jam kemudian, dia mendengar tangisan dari tempat tinggal kaisar dan teriakan ‘Kaisar mangkat.’”
Apa yang terjadi jika Kaisar Guangxu tidak dibunuh?
Bagi Esherick, sejarawan Qing dari Amerika, penelitian ini memiliki relevansi modern. Dia mengatakan ada minat yang kuat pada temuan soal penyebab kematian Kaisar Guangxu di Tiongkok. Seperti artikel surat kabar yang mempertanyakan apakah Tiongkok mungkin menjadi monarki konstitusional seandainya Guangxu tidak dibunuh.
“Bagi saya, hal yang menarik adalah ini mewakili semacam kerinduan akan kisah reformasi di dalam sistem,” kata Esherick.
Bagi Zhu, simbolismenya sangat berbeda. Menjadi bagian dari penelitian ini adalah hal yang sangat mengharukan.
“Saya mengenakan sarung tangan dan menyentuh tulang kaisar. Lebih dari 100 tahun yang lalu, dia adalah penguasa tertinggi dan orang biasa bahkan tidak diizinkan untuk melihatnya. Tetapi 100 tahun kemudian, orang biasa seperti saya dapat menyentuh tulangnya,” kata Zu.
Lain halnya dengan kerabat Kaisar Guangzu dan Puyi (kaisar terakhir) yang masih hidup saat penelitian dilakukan. Jin Yuzhang akan menjadi kaisar Tiongkok jika dinasti Qing tidak digulingkan. Sebagai keponakan dari keponakan Guangxu dan Puyi, dia menjadi laki-laki tertua di generasinya. Jika tidak ada reformasi, ia mungkin sempat menikmati takhta tertinggi Kekaisaran Tiongkok dan menjadi Putra Surgawi.
Source | : | NPR |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR