Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi terbaru dari tim riset multidisiplin Nanyang Technological University (NTU) Singapura mengungkapkan bahwa manusia prasejarah di Asia Tenggara adalah korban dari perubahan iklim. Spesifiknya, mereka adalah korban dari kenaikan permukaan air laut.
Studi ini menemukan bahwa kenaikan permukaan air laut yang cepat telah mendorong para pemukim awal di Asia Tenggara untuk bermigrasi selama periode prasejarah. Migrasi ini meningkatkan keragaman genetik kawasan tersebut saat ini.
Sekutar 26.000 tahun lalu, Semenanjung Malaya dan Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Jawa pada awalnya merupakan bagian dari daratan besar hutan hujan dan hutan bakau pesisir di landas kontinen Asia Selatan. Kawasan ini dikenal dengan nama Sundaland.
Namun selama periode besar terakhir pemanasan global dalam sejarah Bumi, dari periode Glasial Maksimum Terakhir (sekitar 26.000—20.000 tahun lalu) hingga pertengahan 50 Holosen (sekitar 6.000 tahun lalu), permukaan laut naik 130 meter.
Kenaikan permukaan laut ini membanjiri dan menenggelamkan setengah dari Sundaland. Limpahan air juga memutus jembatan darat dan membelah daratan besar itu menjadi pulau-pulau kecil di wilayah tersebut saat ini.
Untuk memahami dampak terhadap manusia yang tinggal di Sundaland selama salah satu kenaikan permukaan laut paling dramatis dalam sejarah Bumi, tim ilmuwan NTU Singapura merekonstruksi sejarah daratan menggunakan dua pendekatan berbeda. Pertama adalah paleogeografi, studi lanskap fisik bersejarah. Kedua adalah genetika populasi.
Peneliti utama, Lektor Kim Hie Lim dari Asian School of the Environment (ASE) NTU, dan Singapore Centre for Environmental Life Sciences Engineering (SCELSE) di NTU mengatakan, "Perubahan lingkungan berdampak besar pada sejarah manusia, mendorong migrasi populasi, pertumbuhan, dan distribusi."
"Namun, yang kurang dibahas adalah bagaimana perubahan lingkungan dapat membentuk genetika populasi. Pekerjaan kami adalah contoh pertama yang dilaporkan untuk memberikan bukti bahwa kenaikan permukaan laut mengubah susunan genetik populasi manusia di Asia Tenggara—warisan yang terus berdampak pada populasi saat ini," papar Lim seperti dikutip dari keterangan tertulis NTU.
Dengan menggunakan data sejarah permukaan laut Asia Tenggara dan Selatan, termasuk catatan kuno Singapura yang dibuat oleh Earth Observatory of Singapore (EOS) dan ASE NTU, tim peneliti membuat peta paleogeografi yang berasal dari 26.000 tahun lalu hingga saat ini.
Tim NTU juga menggunakan data sekuens seluruh genom dari 59 kelompok etnis, termasuk populasi asli Asia Tenggara dan Selatan dari 50.000 tahun lalu. Dengan menganalisis data genom berkualitas tinggi, tim dapat menyimpulkan keturunan genetik dan sejarah demografi kelompok, termasuk ukuran dan distribusi populasinya.
Meski para peneliti di tempat lain telah mempelajari sejarah populasi berdasarkan genetika, kebanyakan dari mereka menggunakan DNA mitokondria (gen yang diwariskan dari ibu). Ini tidak menceritakan gambaran lengkap tentang nenek moyang individu.
Dengan menggunakan data sekuens seluruh genom—informasi yang tepat dari seluruh susunan genetik individu yang diwarisi dari ibu dan ayah, penelitian baru NTU ini menawarkan sejarah demografis yang tidak bias dari penduduk asli yang mendiami Sundaland.
Baca Juga: Tiga Sisa Jasad di Pulau Alor Ungkap Migrasi Terawal Manusia Indonesia
Baca Juga: Mengubah Teori Migrasi: Ada Jejak Leluhur Asia Timur di Eropa Timur
Baca Juga: Manusia Bermigrasi dari Sulawesi Selatan ke Flores Lewat Selayar
Seluruh data urutan genom dihasilkan oleh organisasi nirlaba GenomeAsia 100K. Diluncurkan pada tahun 2016 dan diselenggarakan oleh NTU, inisiatif ini bertujuan untuk lebih memahami keragaman genom etnis Asia dengan mengurutkan 100.000 genom orang yang tinggal di Asia.
Penulis kontributor studi, Profesor Stephan Schuster, ketua bidang genomik di School of Biological Sciences NTU, yang juga Direktur Riset SCELSE dan Ketua Ilmiah GenomeAsia 100K, mengatakan, "GenomeAsia 100K secara sistematis menghasilkan peta keragaman genetik manusia Asia, termasuk etnis asli yang telah menduduki wilayah untuk waktu yang lama."
"Mengintegrasikan peta tersebut dengan data paleoklimatik memungkinkan kita sekarang untuk memahami dengan tepat bagaimana peristiwa iklim masa lalu telah menghasilkan migrasi manusia purba, serta dampaknya terhadap struktur populasi saat ini."
Menyatukan kisah migrasi manusia di Sundaland kuno
Menggabungkan temuan dari dua pendekatan, para ilmuwan menyimpulkan perubahan kepadatan populasi dari peta paleogeografi sejarah berkualitas tinggi yang dihasilkan.
Peta tersebut melukiskan gambaran migrasi manusia prasejarah di Sundaland. Peta ini menunjukkan bahwa contoh migrasi paksa manusia yang terdokumentasi paling awal didorong oleh kenaikan permukaan laut.
Para ilmuwan menemukan bahwa dua periode kenaikan permukaan laut yang cepat (tingkat kenaikan permukaan laut pada 46 mm/tahun dan 22 mm/tahun) mendorong pemisahan populasi menjadi kelompok-kelompok kecil di seluruh Sundaland. Ini terjadi karena daratan besar terpecah menjadi pulau-pulau kecil sehingga memaksa orang-orang untuk membubarkan diri.
Di sisi lain, saat air laut naik, suhu kawasan juga meningkat. Suhu yang lebih hangat ini menciptakan lingkungan hidup yang menguntungkan untuk mendukung pertumbuhan populasi manusia.
Hal ini menyebabkan kepadatan populasi melonjak setidaknya delapan kali lipat dari era Glasial Maksimum Terakhir. Terutama di wilayah kepulauan Asia Tenggara, termasuk Semenanjung Melayu, Sumatra, dan Kalimantan.
Akibatnya, kelebihan populasi mendorong orang untuk bermigrasi mencari tempat-tempat baru untuk menetap. Orang-orang di Sundaland kemudian bermigrasi ke utara, menuju daratan Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Temuan ini didukung oleh bukti migrasi oleh nenek moyang kelompok adat Malaysia (Orang Negrito Malaysia, atau biasanya disebut sebagai "Orang Asli") ke dalam kelompok suku Asia Selatan (penutur Austroasiatik). Analisis genetik mengkonfirmasi keturunan genetik yang umum antara kelompok-kelompok asli Malaysia dan Asia Selatan.
Seluruh proses migrasi ini membentuk beragam etnis di seluruh wilayah Tenggara dan Asia Selatan. Mereka menjadi para pemukim awal Sundaland yang tersebar di berbagai kelompok asli.
Rekan penulis penelitian, Li Tanghua, peneliti senior di EOS NTU mengatakan, "Berdasarkan temuan kami, kelompok Pribumi Orang Asli Malaysia dapat dianggap sebagai 'korban' pertama dari kenaikan permukaan laut, atau apa yang diketahui sebagai 'pengungsi iklim' hari ini."
"Populasi tersebut tidak punya pilihan selain pindah dari wilayah aslinya karena tekanan lingkungan. Migrasi paksa ini menyebabkan perubahan yang tak terhapuskan pada jejak genetik Asia Selatan, berkontribusi pada salah satu daerah yang paling beragam secara etnis di dalam dunia."
Temuan ini berguna untuk memahami dampak kenaikan permukaan laut pada keturunan manusia. Studi ini, yang telah diterbitkan di jurnal Communications Biology pada bulan Februari, adalah yang pertama melacak dampak kenaikan permukaan laut prasejarah terhadap keturunan manusia di Asia Tenggara.
Rekan penulis penelitian ini, Profesor Benjamin Horton, direktur EOS NTU, mengatakan, "Studi tentang permukaan laut masa lalu sangat penting untuk memprediksi bagaimana peningkatan jumlah karbon dioksida atmosfer akan mengubah iklim Bumi dan meningkatkan permukaan laut di masa depan."
"Proyeksi ini menginformasikan bagaimana bagaimana bagaimana cara menginformasikan bagaimana masyarakat dapat mengurangi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim," ujarnya.
Ke depan, tim NTU ingin memperluas penelitian mereka. Mereka ingin melacak kisah migrasi manusia dari Asia Utara ke Amerika, dan bagian lain dari Asia Tenggara.
Source | : | Nanyang Technological University |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR