Oleh Fatris MF. Jurnalis dan penulis lepas, penggemar kisah perjalanan. Buku terkininya, The Banda Journal dan Hikayat Sumatra terbit pada 2021.
Nationalgeographic.co.id—Dari ledakan gunung yang mematikan, ironisnya, melahirkan sebuah danau raksasa yang melenakan mata. Pada 2019, UNESCO menetapkan Kaldera Toba, bekas ledakan itu, sebagai Global Geopark. Artinya, Kaldera Toba tidak semata memiliki kaitan geologis dan keanekaragaman hayati yang dianggap masih terjaga, tetapi juga warisan tradisi luhur yang hidup dalam masyarakatnya. Warisan luhur yang seperti apa?
"Tidak perlu heran, orang Batak sudah disediakan kuburan sebelum dia lahir," Surung Sidabutar, lelaki 40 tahun dengan tatapan lurus dan tulang pelipis yang menonjol di atas kelopak matanya.
Dia sedang berorasi di depan belasan turis yang berkunjung ke makam moyangnya di Tomok; sebuah perkampungan di bagian timur Samosir. Daratan itu seluas Singapura yang bagai spons raksasa terapung di tengah danau cantik.
Danau yang terbentuk akibat letusan gunung di masa-masa yang tak tercatat. Geolog Belanda van Bemmelen menggambarkan erupsi dahsyat 74.000 tahun silam itu sebagai kiamat kecil di zaman purba. Dari sisa kiamat itulah, Toba na sae, Toba yang lapang tercipta.
“Bila Tomok ini Indonesia, maka akulah Jokowinya. Ini makam moyangku, Raja Sidabutar. Kalau nanti mati, kuburku sudah menanti di sini. Aku keturunannya yang ke-17," Surung kian berapi-api seperti ketua partai di depan simpatisannya. Dia mengelus-elus peti batu di sampingnya.
Sejak Ingwer Ludwig Nommensen mengabarkan Injil ke Tano Batak lebih dari satu setengah abad silam, ajaran purba tidaklah punah sepenuhnya dari Tanah Batak. Mangongkal Holi, prosesi penggalian tulang-belulang dari kubur lalu dipindahkan ke peti di atas tanah yang dekat dengan tempat tinggal masih terpelihara. Tradisi ini sebagai wujud penghormatan kepada arwah leluhur.
"Dulu, moyangku ini tidak makan anjing dan babi. Mereka takut dengan kedua hewan itu. Tapi setelah agama baru datang ke Tano Batak ini, malah anjing dan babi yang takut sama orang Batak,” belasan tamunya meledakkan tawa.
F.M. Schnitger, seorang arkeolog Belanda pernah datang ke sini sebelum Indonesia ada.
"Di pegunungan Samosir Selatan," catatnya dalam buku Forgotten Kingdoms in Sumatra, "kami menemukan piringan porselen hijau Cina yang sangat bernilai. Di atasnya tergeletak tengkorak seorang pria dan seorang wanita, yang ditutupi oleh piringan dari bahan yang sama, bermotif bunga. Dulunya tengkorak-tengkorak itu berwarna merah karena sirih. Dari waktu ke waktu mereka dikeluarkan dari dalam kubur dan diritualkan dalam tarian di bawah sinar bulan. Daging dan tuak dijejalkan ke dalam mulut, dan mereka yang masih hidup berbicara kepada yang mati dan menangisi mereka. Upacara yang mengesankan ini adalah bentuk untuk mengenang mereka yang sudah mati."
Samosir hari ini bukan lagi Samosir satu abad lalu. Samosir hari ini adalah destinasi wisata yang telah dibuat ramah dan melayani tamu sebaik-baiknya.
Di bawah siraman terik matahari, Surung terus melanjutkan kisahnya, dan belasan turis itu masih saja meledakkan tawa mendengar Surung, melihat mimiknya, gerak-geriknya.
“Cecak, merupakan simbol dari ketangkasan,” kata Surung lagi menjawab pertanyaan wisatawan yang dipandunya sembari menunjuk ukiran cecak besar pada gerbang makam. “Maksudnya, orang Batak harus bisa hidup di mana saja, seperti cecak. Bahkan di loteng sekalipun. Di loteng siapapun."
"Nah, kalau empat payudara yang dipahat di tiang bagian bawah itu, bukan perempuan Batak berpayudara empat nya itu. Salah pun! Masing-masing memiliki arti," ungkapnya. "Payudara pertama, itu kesucian, kedua kesetiaan, kemudian kesuburan. Payudara terakhir itu adalah kekayaan. Di sini, kaya bukan dalam artian uang, tetapi berapa banyak anak yang sanggup kau besarkan. Perempuan Batak harus menyusui anaknya sendiri, tidak bergantung pada susu pabrik. Bila perempuan Batak berbadan langsing, bah, itu malah yang membuat kuatir akan dikira tidak dikasih makan, tidak bisa menyusukan anak. Makanya perempuan Batak gemuk-gemuk. Subur!”
Siang kian terik, turis di makam moyang Surung telah bubar, tumpah ruah di pasar yang menjual makanan, cinderamata, ulos; selendang yang diberkahi yang melambangkan marwah perempuan Batak. Saya mengikuti Surung keluar dari komplek makam moyangnya, berjalan pulang di bawah terik.
Di rumahnya yang semi permanen bersekat tripleks dan terletak di pinggir danau, istrinya menghidangkan makan siang dengan lauk dan sayur seadanya. Anaknya menangis pulang sekolah. Kami makan dalam diam, angin musim kering bertiup sekenanya dari danau.
Usai makan, keturunan ke-17 Raja Sidabutar itu menatap ke danau yang luas terbentang. Sesekali, para pemandu lain menyapanya dengan berteriak dari atas kapal yang lewat silih berganti di danau yang terletak di halaman rumahnya, meninggalkan suara bising dari mesin kapal.
Tidak seperti keturunan raja-raja di Jawa, hidup sebagai keturunan raja bagi Surung tidak ada yang istimewa. Zaman begitu leluasa merenggut kedigdayaan sejarah yang dimiliki keluarga berdarah biru ini. Sistem monarki telah berganti, dan demokrasi masuk hingga ke pelosok Samosir tanpa bisa dihambat.
Surung tidak memiliki kekuasaan seperti moyangnya di masa lalu. Bila tidak ada yang minta dipandu, Surung menjual karcis untuk setiap wisatawan yang datang mengunjungi Tomok.
“Ini akan disetor pada pemerintah kabupaten,” kata Surung lagi. Sisa dari setoran itulah, masuk ke kantong Surung. “Terlebih bila musim kering begini, lahan persawahan kering, kebutuhan hidup hampir sepenuhnya digantungkan ke turis,” ujarnya.
Kata-kata Surung akan terdengar seperti hardikan bagi orang yang tidak terbiasa dengan cara orang Batak bertutur.
Anggapan antropolog bahwa masyarakat pesisiran pantai berbicara dan berwatak keras dibanding masyarakat dataran tinggi terbantahkan di sini. Orang Batak hidup di dataran tinggi, berbicara lantang dan tegas, akan tetapi keramahan mereka pada orang asing bukan persoalan basa-basi.
Semburat cahaya matahari sore yang keemasan mulai terpacak di permukaan danau. Angin kering berpendar lagi. Istri Surung membangkit jemuran kain. Kegelapan perlahan datang menyelimuti Toba, sunyi menyergap.
Istri dan empat orang anaknya telentang menonton televisi beralaskan tikar. Dari kejauhan, nun di ujung tanjung di Tuk-Tuk, lampu-lampu resor dan vila terlihat. Tuk-Tuk, kampung tetangga Tomok yang lebih banyak wisatawan, suara musik berdentuman, pesta digelar hampir tiap malam.
Tidak jauh dari rumah Surung, sebuah lapo dipenuhi laki-laki. Inilah tempat Orang Batak mengasah kemampuan bercerita dan berdebat: lapo tuak.
Di warung-warung yang tersebar sepanjang pinggiran Samosir, para lelaki suka mengobrol sambil meneguk cairan putih seperti susu. Bila bosan mengobrol, mereka akan bernyanyi.
Laki-laki Batak seperti tidak pernah bisa larut dalam kesedihan hidup. Mereka melakukan apa saja di lapo tuak; main domino, bernyanyi, atau bercerita dan berdebat sampai penat. Di mana ada orang Batak, di sana tercipta lapo tuak, begitu kata anekdot setempat.
Telah lewat tengah malam, Tomok telah dibekap sunyi. Suara riak danau yang menghempas kecil ke tepi kian jelas terdengar.
"Toba itu boru saniang naga, artinya titisan Tuhan yang menghuni air,” ujar Hotdiman berbicara dengan mata redup setengah dipagut kantuk.
Ia adalah seorang pendeta Ugamo Malim, ajaran lama yang masih bertahan tengah Pulau Samosir dengan sebelas keluarga jemaahnya yang tersisa. Malim, secara harfiah berarti suci, dan penganutnya disebut Parmalim.
Saya tidak tahu sampai di mana Hotdiman berbicara tentang adat, petuah-petuah luhur nenek moyang, segala puak Tanah Batak. Angin kering yang tajam, entah masih bertiup dari Toba, saya sudah lupa sebab kantuk telah membunuh saya lebih dulu.
Pagi hari, sembari menyeruput kopi yang dihidangkan istri Surung, perempuan-perempuan lewat di depan kami membawa bakul cucian. Anak-anak mandi di pinggir danau sebelum pergi tergesa-gesa ke sekolah, perahu lalu lalang, lelaki yang menebar jala ikan.
Hutan berwarna cokelat berlapis-lapis, dan asap pembakaran di beberapa lapis perbukitan itu begitu kentara dan masih saja membubung ke udara pagi. Pembakaran hutan, pencemaran air, adalah isu yang tidak selesai-selesai di Danau Toba.
Saya meninggalkan rumah Surung, berkendara melewati rumah-rumah kayu tua penuh ukiran, jalan-jalan lengang. Samosir, pulau di tengah danau ini juga memiliki dua danau di tengahnya, Natonang dan Sidihoni, danau di tengah pulau yang dikelilingi danau. Terus berkendara, istirahat di hotel-hotel yang menghadap danau, mendengarkan perbincangan laki-laki di lapo-lapo.
Baca Juga: Sibandang, Jejak Sisingamangaraja dan Emilio Modigliani di Selatan Toba
Baca Juga: Menilik Lebih dalam Tradisi Mardoton, Budaya Tangkap Ikan Warisan Leluhur di Danau Toba
Baca Juga: Saat Gunung Toba Meletus, Bagaimana Kondisi Bumi dan Manusia Purba?
Baca Juga: Studi Terbaru: Gunung Toba Masih Aktif, Letusan Supernya Mengintai
Saya berkendara kembali, melintasi kampung-kampung yang menyimpan megalit, persawahan, sarkofagus, makam-makam yang dibangun menyerupai rumah dengan wujud yang lebih apik ketimbang rumah-rumah yang berisi manusia. Hingga akhirnya saya mendaki Pusuk Buhit, gunung suci dalam mitologi tempat berasalnya suku Batak.
Dari ketinggian Pusuk Buhit, Toba, danau vulkanis terbesar di muka bumi itu, tak ubahnya lautan mini di tengah belantara Sumatra, biru dan diam. Bangau putih berlarian di sela riak. Angin bertiup saban waktu. Anak gembala bergerombol mengiringi sapi-sapi mereka.
Di satu sisi lain Toba, saya bertemu Jabinaham Bakkara. Lelaki uzur itu yang tengah duduk bersama istrinya yang juga telah uzur. Mereka seperti dua orang yang tengah kasmaran di usia tua, duduk berdampingan menghadap danau sambil tertawa-tawa, mengunyah penganan dengan gigi yang tersisa.
Barangkali, inilah wujud dari apa yang dikatakan Surung pada tamunya tentang empat payudara. Payudara kedua adalah simbol dari kesetiaan, kesetiaan yang tentu tidak ada batasnya.
Benarkah begitu, Opung Jabinaham? Saya bertanya.
"Tu, di ujung sana kampung aku," kata Jabinaham tersenyum ringkih pada saya, tanpa menjawab apa yang saya tanyakan. Istrinya juga tersenyum pada matahari petang yang sebentar lagi akan luluh di balik perbukitan. Toba diam bagai tak beriak. Angin kering masih bertiup sekenanya.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR