Kata-kata Surung akan terdengar seperti hardikan bagi orang yang tidak terbiasa dengan cara orang Batak bertutur.
Anggapan antropolog bahwa masyarakat pesisiran pantai berbicara dan berwatak keras dibanding masyarakat dataran tinggi terbantahkan di sini. Orang Batak hidup di dataran tinggi, berbicara lantang dan tegas, akan tetapi keramahan mereka pada orang asing bukan persoalan basa-basi.
Semburat cahaya matahari sore yang keemasan mulai terpacak di permukaan danau. Angin kering berpendar lagi. Istri Surung membangkit jemuran kain. Kegelapan perlahan datang menyelimuti Toba, sunyi menyergap.
Istri dan empat orang anaknya telentang menonton televisi beralaskan tikar. Dari kejauhan, nun di ujung tanjung di Tuk-Tuk, lampu-lampu resor dan vila terlihat. Tuk-Tuk, kampung tetangga Tomok yang lebih banyak wisatawan, suara musik berdentuman, pesta digelar hampir tiap malam.
Tidak jauh dari rumah Surung, sebuah lapo dipenuhi laki-laki. Inilah tempat Orang Batak mengasah kemampuan bercerita dan berdebat: lapo tuak.
Di warung-warung yang tersebar sepanjang pinggiran Samosir, para lelaki suka mengobrol sambil meneguk cairan putih seperti susu. Bila bosan mengobrol, mereka akan bernyanyi.
Laki-laki Batak seperti tidak pernah bisa larut dalam kesedihan hidup. Mereka melakukan apa saja di lapo tuak; main domino, bernyanyi, atau bercerita dan berdebat sampai penat. Di mana ada orang Batak, di sana tercipta lapo tuak, begitu kata anekdot setempat.
Telah lewat tengah malam, Tomok telah dibekap sunyi. Suara riak danau yang menghempas kecil ke tepi kian jelas terdengar.
"Toba itu boru saniang naga, artinya titisan Tuhan yang menghuni air,” ujar Hotdiman berbicara dengan mata redup setengah dipagut kantuk.
Ia adalah seorang pendeta Ugamo Malim, ajaran lama yang masih bertahan tengah Pulau Samosir dengan sebelas keluarga jemaahnya yang tersisa. Malim, secara harfiah berarti suci, dan penganutnya disebut Parmalim.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR