Saya tidak tahu sampai di mana Hotdiman berbicara tentang adat, petuah-petuah luhur nenek moyang, segala puak Tanah Batak. Angin kering yang tajam, entah masih bertiup dari Toba, saya sudah lupa sebab kantuk telah membunuh saya lebih dulu.
Pagi hari, sembari menyeruput kopi yang dihidangkan istri Surung, perempuan-perempuan lewat di depan kami membawa bakul cucian. Anak-anak mandi di pinggir danau sebelum pergi tergesa-gesa ke sekolah, perahu lalu lalang, lelaki yang menebar jala ikan.
Hutan berwarna cokelat berlapis-lapis, dan asap pembakaran di beberapa lapis perbukitan itu begitu kentara dan masih saja membubung ke udara pagi. Pembakaran hutan, pencemaran air, adalah isu yang tidak selesai-selesai di Danau Toba.
Saya meninggalkan rumah Surung, berkendara melewati rumah-rumah kayu tua penuh ukiran, jalan-jalan lengang. Samosir, pulau di tengah danau ini juga memiliki dua danau di tengahnya, Natonang dan Sidihoni, danau di tengah pulau yang dikelilingi danau. Terus berkendara, istirahat di hotel-hotel yang menghadap danau, mendengarkan perbincangan laki-laki di lapo-lapo.
Baca Juga: Sibandang, Jejak Sisingamangaraja dan Emilio Modigliani di Selatan Toba
Baca Juga: Menilik Lebih dalam Tradisi Mardoton, Budaya Tangkap Ikan Warisan Leluhur di Danau Toba
Baca Juga: Saat Gunung Toba Meletus, Bagaimana Kondisi Bumi dan Manusia Purba?
Baca Juga: Studi Terbaru: Gunung Toba Masih Aktif, Letusan Supernya Mengintai
Saya berkendara kembali, melintasi kampung-kampung yang menyimpan megalit, persawahan, sarkofagus, makam-makam yang dibangun menyerupai rumah dengan wujud yang lebih apik ketimbang rumah-rumah yang berisi manusia. Hingga akhirnya saya mendaki Pusuk Buhit, gunung suci dalam mitologi tempat berasalnya suku Batak.
Dari ketinggian Pusuk Buhit, Toba, danau vulkanis terbesar di muka bumi itu, tak ubahnya lautan mini di tengah belantara Sumatra, biru dan diam. Bangau putih berlarian di sela riak. Angin bertiup saban waktu. Anak gembala bergerombol mengiringi sapi-sapi mereka.
Di satu sisi lain Toba, saya bertemu Jabinaham Bakkara. Lelaki uzur itu yang tengah duduk bersama istrinya yang juga telah uzur. Mereka seperti dua orang yang tengah kasmaran di usia tua, duduk berdampingan menghadap danau sambil tertawa-tawa, mengunyah penganan dengan gigi yang tersisa.
Barangkali, inilah wujud dari apa yang dikatakan Surung pada tamunya tentang empat payudara. Payudara kedua adalah simbol dari kesetiaan, kesetiaan yang tentu tidak ada batasnya.
Benarkah begitu, Opung Jabinaham? Saya bertanya.
"Tu, di ujung sana kampung aku," kata Jabinaham tersenyum ringkih pada saya, tanpa menjawab apa yang saya tanyakan. Istrinya juga tersenyum pada matahari petang yang sebentar lagi akan luluh di balik perbukitan. Toba diam bagai tak beriak. Angin kering masih bertiup sekenanya.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR