Oleh Priyo Utomo Laksono. Seorang petualang, penggila buku sekaligus pemandu kayaking dan trekking profesional yang tinggal di Bandung.
Nationalgeographic.co.id—Pada 1890, saat kampanye penaklukkan Aceh dan Toba masih di kobarkan oleh Hindia Belanda, seorang Antropolog asal Firenze, Italia, datang mengunjungi Danau Toba.
Sebagai seorang Italia, Emilio Modigliani adalah seorang pengunjung dari negara netral yang datang murni untuk tujuan ilmu pengetahuan, yaitu mempelajari masyarakat Toba dan mengkoleksi artefak budaya untuk di arsipkan di Museum Firenze. Ceramah Elio Modigliani di Firenze setelah perjalanannya ke Toba kemudian di bukukan dan di terjemahhkan ke bahasa Indonesia oleh P. Luigi Magnasco dan di beri catatan kaki oleh Sitor Situmorang.
Tidak ada yang luar biasa dari ceramah Modigliani kecuali bahwa itu merupakan laporan pandangan mata seorang pengamat yang netral, di saat peradaban Toba berada pada titik balik dimana tatanan dunia lama Toba terguncang oleh invasi luar.
Sebagai penggemar dan pembaca sejarah, adalah naskah ceramah ini telah memanggil saya untuk mengunjungi dan menjelajah Pulau Sibandang.
Tepatnya terdapat dua perkara pada ceramah tersebut: Perkara pertama, Modigliani dalam perjalanannya sempat berhenti singkat di sebuah pulau yang di perkenalkan kepadanya sebagai Pulau Pardopur, bahkan di terima dan di kawal oleh penguasa pulau tersebut, Ompu Raja Hutsa. Nama Pardopur sendiri adalah nama kakek dari Ompu Raja Hutsa, maka setelah zaman kolonial nama yang lebih objektif yang digunakan : Pulau Sibandang.
Perkara kedua, adalah dari naskah ceramah tersebut saya menyadari bahwa Samosir tidak sejak lama di pandang sebagai sebuah pulau. Sebelum Belanda menggali terusan di kaki gunung Pusuk Buhit, Samosir di pandang sebagai sebuah semenanjung raksasa, bukan pulau. Artinya, pada masa lampau, satu-satunya yang dianggap Pulau di Toba dengan banyak huta (benteng desa), memiliki persekutuan marga, berpenduduk signifikan, dan memiliki komoditas perkebunan dan peternakan, hanyalah satu pulau : Pulau Sibandang.
Saya, istri saya, dan sahabat fotografer saya menjelajah Pulau Sibandang dengan dua cara, mendayung kayak dan trekking. Menyebrang dengan ferry ke pulau seluas 704, 85 hektar dengan penduduk sekitar 2.000 jiwa itu tidak memakan waktu sampai sepuluh menit dari kota Muara, Tapanuli Utara.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR