Rumah tradisional marga Rajagukguk masih di pelihara dari segi bentuk arsitektur, ukiran girganya, maupun catnya. Sangat menarik untuk wisatawan. Bahkan di dermaga, masih ada tujuh kursi di bawah pohon Hariara yang pada masa lampau dipakai untuk sidang adat masih dijaga. Barangkali materialnya baru namun ia hadir sebagai pengingat masa yang masih kental dengan adat.
Dari beberapa warga, pada saat-saat khusus pernah juga di upayakan atraksi wisata tarian tor-tor, atau beberapa upacara adat. Namun, diluar event wisata yang di gelar pemerintah atraksi wisata semacam itu tidak spontan diupayakan warga.
Saya berjalan kaki melintasi ladang jagung, perkebunan kokoa, lalu naik ke berkebunan, atau lebih tepatnya disebut hutan mangga. Saya sudah mendapatkan ketenteraman yang mustahil di dapatkan di kota besar.
Artinya, terlepas dari situs wisata, perjalanan mengalami dan menyerap kehidupan perkebunan di pedesaan di samping danau indah nan agung sudah memuaskan bagi orang seperti saya.
Bertemu dan berbincang, bertukar sapa dan canda pada orang yang tumbuh dengan adat berbeda, apalagi kehangatan orang Batak Toba dengan selera humor yang luar biasa, ini adalah wisata kehidupan yang memperkaya hidup. Dan saya semakin sering pula menemukan orang dengan selera wisata petualangan seperti saya pada generasi yang baru. Dan kami justru kurang berminat pada tempat yang terlalu di dandani sebagai lokasi wisata.
Perjalanan kaki kami melintasi keluar dari Desa Sibandang dan masuk ke wilayah Desa Sampuran. Desa ini memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit sehingga perkebunannya lebih terasa seperti hutan.
Di tengah hutan mangga saya terkesima dengan bentuk dan warna pepohonan mangga, yang masing-masing berwarna putih dan bercabang melebar.
Sesekali saya menyapa para pemanen mangga yang sedang memanjat pohon dengan tongkat jaring. Mereka meraih mangga-mangga yang bergelantungan di dahan terjauh.
Matahari yang menuju sore membuat warna hutan mangga Sampuran semakin kaya. Di antara hutan mangga yang teduh kami menemukan beringin tua yang di sekitarnya tersebar petak-petak tanah bekas lokasi permukiman tua.
Lalu, ada satu rumah Batak masih berdiri, dengan cat berwarna merah bata yang sederhana. Di sampingnya ada bekas sebuah tangga batu daru rumah yang sudah tak ada lagi.
Kami beristirahat disana bersama para pemanen mangga yang juga sedang beristirahat. Mereka memberikan kami mangga. Saat saya menawari untuk membayar, mereka menolak dan mengatakan bahwa tidak patut berjualan mangga di lokasi itu, tempat leluhur mereka dan tempat mereka masih memanen.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR