Ellen Kusuma, pejalan yang menggemari masak dan makan, berdomisili di Jakarta.
Nationalgeographic.co.id—Buai ombak kecil itu membenturkan moncong boat pancung pada tangga batu dermaga. Pijakan saya di perahu goyah, dan kedua lengan langsung terangkat, refleks menyeimbangkan tubuh agar tak terjatuh.
Akhirnya dengan langkah lebar, saya berhasil menjejak tangga batu dermaga dan resmi tiba di pulau kecil di barat Indonesia, bagian dari Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau—Pulau Penyengat namanya.
Saya selalu membayangkan pulau seluas sekitar dua kilometer persegi ini sebagai pulau “kecil-kecil cabai rawit”, yang membuat kagum dengan 46 situs cagar budaya di dalamnya.
Belum terbilang tentang sejarahnya yang tersulam bersama sejarah Malaysia dan Singapura ratusan tahun silam lamanya. Ataupun, kontribusinya pada Bahasa Indonesia melalui dua karya Raja Ali Haji.
Penyair tersohor Gurindam 12 ini menelurkan kitab Bustan al Katibin (1850) dan kamus bahasa Melayu—Kitab Pengetahuan Bahasa Melayu (1858) yang berdampak pada pengembangan bahasa nasional negeri ini.
Pesona Pulau Penyengat memang tidak datang dari bentang alam yang memukau dengan pasir putih atau air laut biru terang. Pukau pulau ini justru datang dari berbagai sejarah dan cerita para penghuni di dalamnya. Salah satunya melalui bangunan paling mencolok di seantero pulau: Masjid Raya Sultan Riau.
Kedatangan saya disambut Nurfatilla Afidah. Pemudi berusia 27 tahun yang sering dipanggil Tilla ini adalah salah satu pegiat wisata di Pulau Penyengat. Ia lantas menemani saya mengitari setiap sudut tempat ibadah yang juga dikenal dengan nama Masjid Penyengat.
Dengan antusias, ia menunjukkan segala hal menarik di dalamnya, dari Al Quran berusia ratusan tahun yang ditulis tangan oleh seorang warga Penyengat, hingga lampu hias dari Kerajaan Prussia, bagian dari sejarah Jerman.
Yang menarik perhatian saya adalah lemari Khutub Khanah Marhum Ahmadi setinggi dua meter lebih, berisi naskah-naskah Melayu dan berbagai publikasi kuno tentang beragam topik. Sayangnya, isi lemari ini tidak dapat diakses oleh publik secara langsung, karena sudah cukup rapuh.
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Penyengat memiliki beberapa paket untuk memandu perjalanan saya di pulau yang juga terkenal dengan wisata religi bagi umat muslim di Kepulauan Riau, terutama dengan keberadaan makam besar tokoh-tokoh Pulau Penyengat, seperti Raja Haji Fisabilillah, Raja Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang IV, yang namanya diabadikan menjadi bandar udara internasional Tanjung Pinang.
Saya akhirnya memilih melakukan tur sejarah dan literatur sembari bersepeda alih-alih berjalan kaki, atau menumpangi becak motor. Raja Farul, anggota Pokdarwis Pulau Penyengat, mengantar saya ke Gedung Mesiu, Benteng Bukit Kursi, hingga Makam Engku Putri Raja Hamidah. Dinding yang mengitari makam anak Raja Haji Fisabilillah ini pun diukir dengan syair gurindam karya Raja Ali Haji.
Sosok Engku Putri Raja Hamidah ini menarik perhatian. Sebagai perempuan yang menjadi istri dari Sultan Mahmud Syah III pada tahun 1803, ia bukanlah seorang trophy wife. Ia justru diberi kepercayaan untuk menjaga benda kerajaan, alat kebesaran Kerajaan Riau, Lingga, Johor, Pahang.
Dengan benda ini maka hanya Engku Putri yang bisa memilih, mengangkat dan melegitimasi sultan yang baru. Ketika benda kerajaan ini diperebutkan oleh VOC, Engku Putri pun tidak gentar mempertahankannya.
Pulau Penyengat sebenarnya menyimpan banyak kisah perempuan penulis atau cendekiawan. Salah satunya Khatijah Terung, yang menulis karya bertema cukup kontroversial pada masanya: sesuatu yang bernuansa seksual.
Sayangnya karya dengan aksara Arab gundul tersebut belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Khatijah adalah anggota Roesidijah/Rusydiah Club, organisasi para cendekia yang berdiri pada 1884 hingga 1905. Klub yang anggotanya gemar menulis dan menerbitkan tulisannya ini sampai memiliki unit percetakan sendiri.
Saya mengelus dada saat tahu bahwa pening galan sejarah mengenai klub ini nyaris tidak bersisa. Rumah yang menaungi klub ini dibumihanguskan agar tak dikuasai penjajah, yaitu Belanda yang ketar-ketir dengan keberadaan organisasi ini. Kita hanya menyaksikan sisa papan penunjuk bekas lokasi tapaknya.
Karya-karya yang diselamatkan tersimpan di Balai Maklumat yang dikelola Yayasan Kebudayaan Indera Sakti Pulau Penyengat. “Beberapa naskah sudah didigitalisasi dan bisa diakses melalui Arsip Nasional,” ujar Raja Malik Hafrizal, perawat naskah kumpulan sejarah Melayu dan Pulau Penyengat.
Saya lalu diantar ke Balai Adat Melayu untuk menikmati lantunan Gurindam 12 oleh Yola Pratama (24). Dengan suara merdu sarat cengkok Melayu yang kental, ia melantunkan beberapa irama yang biasa digunakan untuk membaca Gurindam 12.
Tentu saya tak sejago Yola, tapi mencobanya amat menyenangkan. Di sini ini pula saya mencoba mengenakan pakaian adat bangsawan khas Pulau Penyengat.
Mengobrol dan mendengarkan kisah dari Pulau Penyengat memang tidak cukup setengah hari. Namun tur yang disusun Pokdarwis Pulau Penyengat ini cukup dalam memberikan gambaran besarnya. Saya jatuh hati dibuatnya.
Perkara rasa selalu menjadi hal yang kompleks dari segi bumbu hingga selera. Namun, tak ada yang tak enak di Pulau Penyengat. Bumbu khas Melayu juga Bugis tercermin dalam makanan yang dijajakan sejak subuh.
Baca Juga: Filosofi Warna pada Pakaian Adat Melayu Pulau Penyengat
Baca Juga: Pulau Penyengat, Pulau Kecil dengan Warisan Budaya Melayu yang Besar
Baca Juga: Meramu Pengalaman Jelajah Pulau Penyengat dan Dinamika Komunitasnya
Baca Juga: Kisah Perjuangan Penjaga Tradisi Wayang Cecak di Pulau Penyengat
“Ini ada nasi melaka, nasi dagang, laksa goreng, karipap, roti naek, roti belaok, tembose,” Tilla dengan riang menunjuknya satu per satu. Saya pun menemukan rasa favorit: Laksa goreng. Aduh, rasanya lezat terutama setelah diguyur kuah penuh rempah.
“Kalau malam, biasanya makan apa?” tanya saya. “Yang biasa-biasa saja, tapi kadang-kadang menyeberang ke Tanjung Pinang. Bisa makan di Akau Potong Lembu,” jawab Tilla. “Ada gong-gong—sejenis kerang laut, ayam goreng bawang, sop ikan, banyak.”
Malam itu setelah bersantap di Akau Potong Lembu, saya kembali ke Pulau Penyengat. Bisingnya pompong tak mengganggu saya menikmati langit malam bertabur bintang.
Kecipak halus laut yang terbelah pompong pun menambah rasa, bahwa Indonesia ini luas, dan banyak cerita yang beragam. Kali ini kebinekaan itu hadir dari sebuah pulau kecil bernama Pulau Penyengat.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR