Nationalgeographic.co.id - Pada pertengahan abad ke-18, menerima keramahan para wanita di daerah pegunungan selatan Tiongkok memiliki risiko yang berbahaya.
Orang-orang menceritakan berbagai kisah tentang para wanita yang menggoda para pelancong, menyuapi para pria dengan makanan yang telah dicampur dengan salah satu racun terampuh sepanjang Kekaisaran Tiongkok.
Racun tersebut dikenal sebagai gu. Menurut cerita, racun tersebut dibuat dengan memasukan ular berbisa, kalajengking, dan kelabang ke dalam stoples. Ketiga binatang tersebut dipaksa untuk bertarung. Ia yang bertahan hidup berarti mengandung racun yang pekat.
Racun gu dianggap sebagai racun yang bekerja lambat. Racun ini dikatakan tidak memiliki rasa, sehingga korban yang tidak menaruh curiga dan dapat menjalani kehidupan normal mereka selama 10 hari sebelum mulai merasa sakit.
Di pegunungan, jika seorang pria diracuni dengan gu dan berhasil kembali ke rumah kekasihnya dalam waktu yang dijanjikannya, kekasihnya akan memberinya obat penawar. Namun jika tidak, ia akan tersiksa.
Racun gu menyebabkan, "jantung serta perutnya membengkak dan sakit karena racun tersebut menggerogotinya dari dalam," tulis profesor sejarah kedokteran Universitas John Hopkins, Marta Hanson, dalam buku Speaking of Epidemics in Chinese Medicine.
Berawal dari tahun 610, gu juga digambarkan sebagai bentuk ilmu hitam dan sihir dengan racun sebagai bagian utama dari praktiknya.
Racun Gu telah dikaitkan dengan beberapa daerah dan masyarakat di Tiongkok sepanjang sejarah. Namun paling sering dikaitkan dengan wanita Lingnan dan Miao, minoritas di selatan yang menciptakan stigma berdasarkan prasangka dari utara.
Seorang pejabat di biro medis kekaisaran, Xu Chunfu, menulis tentang gu pada tahun 1556. Resep yang paling terkenal adalah dengan mengumpulkan lima binatang beracun dan menempatkannya di dalam stoples untuk diadu.
Hal tersebut dilakukan pada hari Festival Perahu Naga, yang merupakan hari kelima di bulan kelima.
Ada yang mengatakan bahwa stoples tersebut disimpan dalam kegelapan hingga satu tahun. Tubuh makhluk berbisa yang tersisa, akan menjadi sumber racun mematikan.
Xu juga menjelaskan resep lain yaitu dukun membunuh seekor ular berbisa, mencampurkannya dengan berbagai macam tumbuhan, dan menetesi tubuh ular tersebut dengan air.
Ular dibiarkan selama beberapa hari, hingga dagingnya membusuk dan mulai ditumbuhi jamur. Tubuh ular digiling menjadi bubuk dan dicampurkan ke dalam anggur.
Selama Kekaisaran Sui (581–617) dan Tang (618–907), sumber-sumber Tiongkok mulai mengaitkan keracunan gu dengan metode-metode sihir tertentu yang dikaitkan dengan budaya minoritas.
Keterkaitan racun gu dengan wilayah Miao dan Lingnan mulai muncul sekitar abad ke-17, dan ketakutan semakin meningkat pada pertengahan abad ke-18.
Menurut Hanson, hal ini bukanlah suatu kebetulan. Deskripsi tentang korban yang diracuni gu meningkat setelah pemberontakan Miao pada 1735 dan 1736.
Orang Tiongkok Utara tidak sepaham dengan pertanian, struktur sosial, budaya, dan terutama kemandirian perempuan Miao.
Wanita Miao dianggap "barbar", dengan kaki yang tidak terikat, pakaian yang minim, kebebasan seksual pranikah, dan memiliki kemampuan untuk berburu dan bertani bersama pria, tulis Louisa Schein dalam Minority Rules: The Miao and the Feminine in China's Cultural Politics.
Orang Miao mendapatkan tuduhan bahwa merekalah sumber bahaya. Hubungan antara racun gu dengan masyarakat Miao pun segera menyebar ke seluruh negeri.
Gosip tersebut dimaksudkan untuk menegakkan batas-batas etnis karena takut akan pernikahan campur dengan orang-orang Miao.
Pada tahun 1556, Xu menggambarkan kecemasan yang meluap-luap dari keracunan gu. Ia menjelaskan bahwa ketika racun mengendap di dalam tubuh, racun tersebut akan menyerang korban dari bagian dalam hingga ke bagian luar dengan rasa panas yang membakar.
Meskipun tidak ada laporan yang dapat dikonfirmasi, ketakutan yang meluas akan keracunan gu telah mendorong munculnya berbagai metode untuk mendeteksi dan menyembuhkannya.
Baca Juga: Racun Favorit Kaisar Tiongkok dan Penguasa untuk Menyingkirkan Musuh
Baca Juga: Para Kaisar Tiongkok Tergiur ‘Ramuan Keabadian’, Tak Sadar Itu Racun
Baca Juga: Marco Polo: Buram Kebenaran Perjalanannya ke Kekaisaran Tiongkok
Terdapat beberapa cara untuk mendeteksi racun gu yang dicampur pada makanan. Dokter Jiangnan, Zhang Lu, pada abad ke-17 menulis sebuah metode untuk mendeteksi keracunan gu di wilayah Lingnan.
"Jika Anda makan di rumah [orang yang tinggal di sana], segera ambil cula badak dan aduk [makanan] dengannya. Jika [makanan] mengeluarkan busa putih, berarti makanan tersebut beracun, jika tidak ada busa, berarti tidak beracun."
Chen Guoqun juga menulis pada tahun 1942 bahwa para pelancong harus membawa sumpit berujung perak dan mencelupkannya ke dalam makanan dan minuman yang ditawarkan di rumah Miao. Jika ujung perak berubah warna, makanan tersebut mungkin diracuni.
Kisah legenda tentang racun gu adalah produk dari prasangka terhadap kelompok minoritas. Hubungannya dengan wanita Miao dan Lingnan terus berlanjut hingga akhir abad ke-19, dengan beberapa sarjana bahkan menulis bahwa Miao dilarang menghadiri pasar di berbagai tempat di Tiongkok pada tahun 1900-an.
Meskipun cerita tentang racun gu mungkin merupakan cerita rakyat, dampaknya menciptakan batas-batas geografis dan etnis yang nyata serta berlangsung selama berabad-abad.
Saat ini, legenda racun gu masih terus hidup, racun yang terkenal memainkan peran penting dalam film Crouching Tiger, Hidden Dragon dan televisi Sleepy Hollow sebagai metode untuk memanipulasi kekasih dan menyebabkan kematian.
Source | : | Atlas Obscura |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR