Nationalgeographic.co.id—Bulan Ramadan dengan kewajiban berpuasa bagi umat Islam di dalamnya, menjadi ritus yang dilakukan setiap tahunnya. Haus dan dahaga menjadi tantangan tersendiri selama beribadah.
Kita yang menjalankannya perlu menerapkan kebiasaan agar berhasil menjalankan puasa hingga waktu berbuka. Namun, pernahkah membayangkan bagaimana dampak berpuasa Ramadan bagi pemain sepak bola profesional yang profesinya cukup menguras energi?
"Seorang atlet yang berpuasa di bulan Ramadan tentunya dituntut untuk menjaga pola makan yang sehat agar performanya tetap optimal meski berpuasa," tulis Fuad Al Mudahka dan tim risetnya dalam Aspetar: Sports Medicine Journal berjudul "Ramadan and Football" terbitan 2023.
Meskipun sangat disarankan agar atlet mengonsumsi tiga kali makan besar per hari, hal ini tidak bisa dilakukan selama Ramadan mengingat waktu yang tersedia untuk makan lebih singkat, yakni hanya di malam hari saja.
Sebagian besar Muslim secara otomatis mengubah frekuensi makan mereka menjadi dua waktu makan: satu sebelum matahari terbit (Sahur) dan yang lainnya setelah matahari terbenam (buka puasa).
Dengan demikian, perubahan besar gaya hidup selama Ramadan dimulai dengan pergeseran asupan makanan (dan cairan) dari siang hari ke malam hari. Karena pola ini berlanjut selama 30 hari ke depan, ada peningkatan risiko kekurangan nutrisi dan energi pada pemain sepak bola selama bermain di kala berpuasa.
Selama Ramadan, tantangan bagi pesepak bola Muslim untuk makan makanan sehat menjadi lebih sulit karena setiap hari dirayakan dengan pesta besar saat matahari terbenam (buka puasa).
Dalam budaya Muslim modern, buka puasa terdiri dari makanan tinggi lemak, gula, dan garam, yang belum tentu sehat untuk individu 'normal', apalagi atlet. Studi yang menganalisis kandungan gizi buka puasa telah menemukan bahwa nilai kalorinya hampir setara dengan dua kali makan.
"Dengan demikian, total asupan kalori harian selama Ramadan dapat dipertahankan, tetapi kekurangan gizi telah terdokumentasi, mengingat pilihan makanan tidak bervariasi," imbuh Fuad dan timnya.
Untuk mendorong pola makan yang sehat di kalangan atlet selama Ramadan, pelatih dan penyelenggara olahraga harus mengadvokasi atlet untuk mengonsumsi makanan bervariasi yang kaya akan profil makronutrien (misalnya karbohidrat, protein, dan lemak) dan nutrisi tinggi yang penting untuk kinerja dan pemulihan yang optimal.
Baca Juga: Kurma, Buah Kesukaan Nabi Muhammad yang Memiliki Banyak Manfaat
Baca Juga: Makin Populer, Ilmuwan Terus Kembangkan Terapi Puasa untuk Pengobatan
Baca Juga: Kenapa Ramadan adalah Bulan yang Paling Suci bagi Umat Islam?
Sebisa mungkin, makanan harus berukuran sedang dan diberi jarak secara berkala untuk memaksimalkan penyerapan nutrisi. Makanan sebelum dan sesudah pelatihan yang lebih kecil juga dapat membantu meningkatkan asupan kalori, mempertahankan kinerja, dan membantu pemulihan.
Keputusan untuk berpuasa atau tidak di bulan Ramadan bukanlah hal baru bagi para atlet dan pesepak bola profesional Muslim. Di Qatar dan banyak negara Timur Tengah dan Arab, puasa Ramadan dipraktikkan sejak para atlet berusia 10 hingga 12 tahun.
Bahkan setelah beberapa tahun pengalaman berpuasa di tengah padatnya kompetisi, setiap atlet akan mengembangkan keyakinan, pengetahuan, dan persepsi mereka sendiri tentang dampak puasa Ramadan terhadap kinerja mental dan fisik mereka.
Tentu, berpuasa akan berdampak besar pada kinerja mental dan fisik bagi sejumlah atlet. Puasa Ramadan menghasilkan pergeseran asupan makanan dan cairan dari siang hari ke malam hari.
Berpuasa Ramadan akan menghadirkan perubahan gaya hidup utama yang dapat berdampak negatif pada performa pesepak bola profesional jika tidak dipantau dan dikendalikan oleh pemain dan pemantau ahli gizi pemain.
Tentunya, pelatih dan ahli gizi atlet seharusnya memainkan peran penting dalam memberikan pengetahuan yang akurat dan terkini tentang dampak puasa Ramadan terhadap kesehatan dan performa fisik.
Bagaimanapun, sepak bola adalah olahraga yang menuntut ke-11 pemain di lapangan untuk tampil dengan upaya fisik dan mental terbaik mereka. Maka, sejumlah pemain perlu melakukan adaptasi agar tetap berpuasa dan tampil dengan performa terbaiknya.
Source | : | Aspetar: Sports Medicine Journal |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR