Nationalgeographic.co.id—Nama Cao Cao tidak asing bagi para penggemar Kisah Tiga Kerajaan (Romance of Three Kingdoms). Sebagai diktator militer di Kekaisaran Tiongkok pada akhir Dinasti Han, ia adalah salah satu tokoh yang paling misterius dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok. Ia berupaya untuk menyatukan Kekaisaran Tiongkok. Meski akhirnya gagal, Cao Cao berhasil membawa sejumlah perubahan besar bagi Tiongkok kuno.
Kehidupan awal
Kehidupan awal dan detail biografi Cao Cao tidak jelas dan sering diperdebatkan oleh para sejarawan. Fakta tentang kehidupannya sulit dipisahkan dari legenda atau mitos.
Cao Cao lahir pada tahun 155 Masehi, putra Nyonya Ding dan Cao Song. “Ia juga merupakan putra angkat Cao Teng, seorang kasim berpengaruh dan berkuasa di istana Han,” tulis Mark Cartwright di laman World History Encyclopedia.
Cao Cao memiliki banyak anak sendiri, yang paling terkenal adalah putranya Cao Pi dan Cao Zhi.
Pemberontakan Serban Kuning
Catatan peran pertama Cao Cao adalah sebagai komandan di Luoyang selama tahun 170-an Masehi. Sejak awal Cao Cao membangun reputasi sebagai orang yang patuh hukum dan tidak takut menantang orang kaya dan berkuasa.
Dia semakin terkenal setelah menghentikan pemberontakan Serban Kuning pada paruh kedua abad ke-2 Masehi. Pemberontakan itu secara brutal dipadamkan oleh pasukan yang dikirim oleh Cao Cao. Pemimpinnya, Zhang Jue dibunuh atau dieksekusi.
Gerakan tersebut bergemuruh di bawah kepemimpinan baru di provinsi Sichuan timur tetapi akhirnya dipadamkan pada tahun 215 Masehi. “Lagi-lagi oleh pasukan yang dikirim Cao Cao,” tambah Cartwright.
Pemberontakan Serban Kuning mengancam tahun-tahun terakhir pemerintahan Kekaisaran Tiongkok Han. Dinasti Han makin dilemahkan oleh pemberontakan. Dan dalam kekacauan berikutnya, kekaisaran terbagi di antara para jenderal besar menjadi tiga kerajaan. Ini adalah Periode Tiga Kerajaan.
Cao menduduki bagian utara yang strategis di sekitar ibu kota kaisar di Luoyang. Dia membawa kaisar Dinasti Han bersamanya dan memindahkan ibu kota ke Xuxian. Dengan kaisar di bawah kendalinya, dia mengambil alih komando jenderal lain. “Secara bertahap mengambil semua hak prerogatif kekaisaran,” tulis Kenneth Pletcher di laman Britannica. Wilayah kekuasaannya dikenal sebagai kerajaan Wei.
Kebijakan Cao Cao
Untuk mengonsolidasikan wilayah yang dia kuasai, Cao Cao memulai serangkaian reformasi administrasi. Reformasi itu dirancang untuk memperkuat sentralisasi pemerintah dan memperluas jangkauan pemerintah. Salah satu fitur reformasi adalah mengekang pengeluaran kerajaan yang berlebihan. Untuk alasan ini, ada undang-undang yang disahkan yang, misalnya, melarang penggunaan jubah penguburan batu giok yang mahal.
Langkah-langkah lain termasuk pengenalan sistem peringkat sembilan tingkat untuk pejabat pengadilan. Kebijakan lain dari Cao Cao dirancang untuk memecah kesetiaan tradisional daerah dan mengisi pundi-pundi kerajaan. Ini termasuk mengizinkan pemukiman kembali para petani yang kehilangan tempat tinggal ke tanah terlantar.
Baca Juga: Sejahat-jahatnya Cao Cao Tetap Saja Ada Kebijakan Politik yang Cermat
Baca Juga: Wu Si, dari Budak Jadi Permaisuri Kekaisaran Tiongkok yang Berpengaruh
Baca Juga: Demi Tebus Kesalahan, Kaisar Tiongkok Zhentong Naik Takhta Dua Kali
Baca Juga: Fang Xiaoru, Kesetiaan Menteri Kaisar Tiongkok yang Dibalas Mutilasi
Para petani dan pemberontak yang dikalahkan juga dimukimkan kembali menjadi penyewa yang membayar. Dengan demikian, ini menjadi sumber pendapatan yang berguna bagi kerajaan tanpa perantara pemungut pajak lokal.
Berbagai “rupa” Cao Cao
Cao Cao meninggal pada 220 Masehi. Kehidupan Cao Cao juga menjadi subjek novel terkenal dari Kekaisaran Tiongkok Dinasti Ming (1368-1644 M), Kisah Tiga Kerajaan (Sanguo yanyi atau Romance of Three Kingdoms), di mana dia berperan sebagai tokoh antagonis. Sejak itu Cao Cao menjadi salah satu tokoh legenda dan cerita rakyat Tiongkok yang paling populer. Bahkan ia dipercaya memiliki berbagai kekuatan sihir jahat.
Pasukan besar Cao dan manuvernya yang terampil terkenal dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok. Oleh sejarawan Konfusianis, Cao Cao digambarkan sebagai tipikal penjahat yang cerdas, berani, dan tidak bermoral.
“Sejarawan modern cenderung memandang Cao Cao sebagai jenderal yang terampil dan politikus pragmatis,” kata Pletcher lagi.
Setelah kematian Cao, penguasa Han terakhir, Xiandi, menyerahkan takhta kepada putra Cao, Cao Pi, yang memproklamirkan Dinasti Wei.
Source | : | World History Encyclopedia,Britannica |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR